Saturday, April 12, 2008

Logika dan kebijaksanaan

Saya punya teman yang sangat cemerlang untuk urusan teori, filsafat, logika dan sejenisnya. Ditambah kesukaannya nonton film, baca buku dan nulis (blog, facebook, artikel) komplitlah itu menjadi sebuah kelebihannya. Bicaranya jelas, bening dan lancar ... banyak teman yang terkagum-kagum dengan kelebihannya itu dan menganggap dia sumber referensi yang tiada habisnya.

Sejujurnya secara pribadi saya sangat respek juga, apalagi di dunia akademik, kemampuan seperti itu sangat dibutuhkan. Hanya saja kadar respek saya menjadi berkurang dan semakin berkurang ketika dia berdiskusi dengan saya selalu berusaha untuk offensif alias menyerbu statement saya. Pernah dia bilang bahwa sebelum diskusi kita harus sepakat dulu apa tujuan diskusi ... mencari persamaan atau kah perbedaan, kayaknya sangat bijak banget .. Tapi kenyataannya beda banget .. pernah saya mengakui bahwa diskusi kita tidak akan ketemu karena masing-masing kita berangkat dengan frame yang berbeda ... frame liberal jelas nggak akan ketemu dengan frame komunitarian ... kalo komunitarian diserang atau disalahkan dengan frame liberal jelas akan salah, salah dan salah.

Agaknya teman saya masih memiliki kekurangan, dengan sederet kelebihan dan talentanya, ia belum memiliki apa yang dinamakan wisdom ... kebijaksanaan! Bagaimana menghargai perbedaan pendapat dalam berdiskusi, tidak menghakimi orang lain atas nama fallacy atau ketidakkonsistenan logika serta mau menerima kesepakatan dalam bentuk ketidaksepakatan secara lapang hati.

Jika kita selalu mempertuhankan logika kita, saya kok takut kita akan menjadi sombong. Misalnya, keyakinan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik bagi umat manusia yang mana menjamin kesejahteraan rakyat karena rakyat bebas menentukan apa yang paling baik buat mereka. Indonesia, Amerika atau negara manapun menerapkan sistem demokrasi, apakah kita akan sampai pada kesimpulan sahih bahwa Indonesia, Amerika dan negara yang menganut demokrasi rakyatnya sejahtera?

Bagi saya, logika paling konsisten ada di pikiran dan diskusi kita, tapi jika diterapkan ... saya yakin belum tentu 100 % benar. Karena di lapangan banyak faktor yang bisa "merusaknya".

Premis 1 : Pilkada langsung akan membuat rakyat sejahtera.
Premis 2 : Kota Semarang menerapkan pilkada langsung.
Kesimpulan : (hehehe .. saya ndak berani nulisnya ... karena sebagai rakyat Semarang .... rasanya masih jauh dari sejahtera sih!)

Itu aja sebuah contoh yang menurut saya bisa menjelaskan bahwa logika belum tentu konsisten dalam implementasinya. Sebagai bagian dari akademikus, saya sangat menghargai dan menjunjung logika sebagai sebuah ikhtiar untuk menemukan dan merumuskan sebuah kebenaran, namun lebih dari itu saya juga sangat mengagungkan apa itu kebijaksanaan ... yang dapat menyempurnakan logika ke dalam bentuk yang sangat manusiawi.

Bagi saya, logika bekerja dengan otak/mind sedangkan kebijaksanaan bekerja dengan hati/heart, jikalau hanya salah satu bekerja jelas akan sangat kurang maknanya. Dibutuhkan keduanya agar hidup kita bisa mencapai titik kualitas sebagai manusia. Contohnya seperti apa tulisan Kahlil Gibran, yang mengibaratkan akal dan perasaan/hati sebagaimana layaknya layar dan kemudi kapal ... kehilangan salah satu kita tidak akan ke mana-mana.

Hanya Allah Ta'ala yang memiliki kebenaran, kita hanya hamba-Nya yang selalu mencari dan terus mencari ... mencari .. dan mencari ..
Wallahu'alam bishawab.


No comments: