Saturday, March 29, 2008

Antara tuntunan dan tontonan

Jaman kecil dulu saya sangat dekat dengan mbak putri, maklumlah cucu pertama dan juga sebelum mbah kakung meninggal sangat wanti-wanti kepada mbah putri untuk "ngopeni" putu lanang dengan sebaik-baiknya. Dua minggu setelah saya lahir, mbah kakung berpulang ke Rahmatullah. Menurut cerita bapak-ibu saya, mbah putri sangat teguh memegang wasiat mbah kakung ... malah ada anggapan bahwa saya lebih cocok jadi "anaknya" mbah putri saking dekatnya.
"Deke kuwe cocok banget dadi anake Simak".

Demikian bapak-ibu sering menggoda saya, yang artinya lebih kurang saya paling cocok menjadi anaknya Simak. Yah, kami yang hidup di Wonosobo (120 km sebelah barat daya Kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah), masuk dalam rumpun Kedu yang mana bahasa dan adat istiadat Jawa yang kami anut sedikit berbeda dengan pesisir, Solo, Jogja maupun Banyumas. Kami sekeluarga memanggil mbah putri dengan panggilan sayang SIMAK ... mungkin pengaruh dari orang tua kami yang memanggilnya juga simak ... mungkin juga kata simak kependekan dari si emak hehehe...

Hal yang paling menarik dari diri simak adalah beliau sangat rajin mengaji, menghadiri majelis ilmu ... setiap hari mulai jam 14 - 16 (ba'da ashar), bergiliran dari satu tempat ke tempat lain selain juga tidak pernah lupa dengan pengajian atau kuliah subuh. Saya bisa memahami mengapa simak begitu intens dalam masalah agama karena mbah buyut (orang tua simak) adalah sosok panutan dalam komunitas muslim di kota kami. Beliau adalah guru ngaji bahkan beberapa muridnya yang berasal dari beberapa tempat memanggilnya kyai … tapi simak bercerita bahwa anak turunnya lebih banyak memanggil dengan nama Mbah Hari karena nama panjangnya adalah Muhammad Asyhari. Dalam lingkungan keluarga Mbah Hari mendidik anak-anaknya secara keras … agama adalah nomer satu, lainnya tidak perlu. Bahkan sekolah pun tidak boleh karena sekolah sarat dengan nilai-nilai barat/Belanda/penjajah.

Walhasil sampai usia 60 an simak hanya kenal tulisan arab, tulisan latin tidak kenal alias buta huruf, tapi kalau sama duit simak pinter itungannya.
Sering saya godain, "Simak itu hebat … nggak bisa baca tulis tapi kok ngerti itungan duit hehehe …" Kalau sudah begitu simak hanya tersenyum kecil sambil men-theot- (mencubit menggunakan punggung jari tengah dan telunjuk) paha saya. Bagi saya simak adalah sosok muslimah yang sangat taat. Bangun menjelang subuh untuk menunaikan sholat tahajud, berdzikir dilanjutkan sholat subuh dan kuliah subuh. Setelah itu mulai dengan aktifitas rumah tangga sampai dengan jam 8an untuk sholat dhuha dengan doa yang sangat panjang (pernah suatu ketika saya melihat simak berdoa sambil menangis … memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar anak-keturunannya diberikan iman, Islam dan ihsan yang kuat, dimudahkan segala urusannya serta dijauhkan dari api neraka … hal itu diucapkan dalam bahasa Jawa, berkali-kali dan dengan penuh kesungguhan sampai menangis). Sehabis itu biasanya simak tidur sampai tiba sholat dhuhur.

Seusai menjalankan ibadah dhuhur simak kembali sibuk dengan urusan rumah tangga dan menjelang pukul 14 bersiap untuk menghadiri majelis pengajian yang ada di seputar kota Wonosobo. Kalau tidak salah Senin di kampung stasiun di tempat Pak Anwaron, Selasa di kampung Kauman Selatan tepatnya di TK Masyithoh, Rabu di masjid Puntuksari dengan Kyai Abdul Latif (orang biasa memanggil dengan sebutan Mbah Dul Latip), Kamis di mushola Kliwonan dengan Kyai Idris atau putranya Kyai Chabibullah Idris, kadang dengan Pak Toyib, Jumat di Betengsari, selatan SMP Negeri 1, Sabtu di Masjid Al Manshur Kauman biasa dikenal dengan seton karena digelar hari Sabtu dan alhamdulillah sampai sekarang saya masih menyempatkan diri mengikuti seton jika pas kebetulan pulang ke Wonosobo. Hari Ahad … sebutan bagi hari Minggu … biasanya untuk istirahat atau jika ada pengajian di luar kota pasti simak akan datang seperti di Jawar, Kalierang, Selomerto atau Leksono yang jaraknya rata-rata 10 km dari rumah kami.

Karena sering diajak ngaji, meski nalar saya belum jalan karena umur baru sekitar 5 tahunan saya jadi ngerti sedikit banyak tentang ilmu agama termasuk yang saya sukai adalah puji-pujian, shalawat atau senandung doa khususnya dalam bahasa Jawa. Semua berisi sanjungan kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW serta penghormatan kepada leluhur, orang tua, para guru dan juga anjuran untuk berbuat baik dalam setiap situasi. Dan hal ini masih membekas sampai saat ini … kadang-kadang secara rengeng-rengeng (pelan-pelan) saya lantunkan kembali …

Pernah saya menanyakan kepada simak … mengapa kok harus ngaji? Kan capek … butuh uang buat amal, transpor … belum kalo hujan (Wonosobo tidak beda jauh dengan Bogor apalagi kalo sedang musim hujan … bisa-bisa setiap hari hujan) jadi basah kuyup semua mulai kerudung, selendang, kebaya dan kain jarik .. Tapi simak menanggapinya dengan tersenyum … “Ngaji itu sangunya mati .. amal kita untuk di akhirat kelak … dan kewajiban kita sebagai orang Islam ya ngaji … mencari ilmu”. “Lha kok nggak sekolah mak?”, saya menyahut. Lantas seperti memutar kembali waktu simak bercerita tentang mbah buyut dengan segala prinsipnya. Menurut simak … sekarang jamannya lain, kamu sebagai cucu sekarang harus sekolah selain juga ngaji … sekolah itu buat duniamu dan ngaji buat akhiratmu … walah … pinter juga simak.

Pernah suatu ketika simak bercerita tentang jaman yang semakin tidak karuan .. menurut kyai dan pengamatan simak … makin ke sini jamannya makin rusak … banyak laki-laki berdandan ala perempuan, kebalikannya yang perempuan berpenampilan seperti laki-laki … mempertontonkan hal yang tidak semestinya. Perempuan yang semestinya masih memiliki malu … harga diri … dan kehormatan sekarang tidak lagi seperti itu. Nikah setelah hamil mulai jadi kebiasaan … itu kan nggak beda dengan berzina. Nilai apa yang mereka anut? Apa mereka nggak takut dengan hukum Gusti Allah ..

Saat saya kembali mengenang kegundahan simak itu, saya sedang jauh dari Wonosobo, kota kelahiran yang sangat saya cintai. Saya sedang berada di negeri orang bernama Amerika Serikat. Tempat di mana jangankan hukum Tuhan, Tuhan sendiri saja menjadi sesuatu yang sangat asing bagi mereka ... Kebanyakan mereka tidak merasa perlu dan butuh mengenal Tuhan, cukuplah jerih payah mereka saja sebagai bukti keberadaan mereka … selama sesuatu tidak bisa dibicarakan dan dijelaskan dengan akal … kenapa harus repot dibahas?


Ada juga satu alasan menarik dari simak mengapa harus ngaji, yaitu supaya kita sebagai manusia hidup tidak kehilangan pegangan atau tuntunan. Apa itu, ya kitab suci, firman Tuhan dalam Al Qur’an. Ngaji adalah sebentuk usaha untuk memahami Al Qur’an dengan perantara orang yang lebih mampu mengerti dan memahami kandungan Al Qur’an, baik yang bernama kyai, ustad, gus .. atau siapapun.
Yah, Al Qur’an diturunkan kepada Muhammad SAW sebagai tuntunan bagi manusia .. agar mendapatkan kehidupan yang baik di dunia maupun akhirat kelak … sebagai pembeda antara yang benar/haq dan salah/bathil … sebagai petunjuk atas jalan yang lurus, jalan manusia yang berharkat dan martabat … juga sebagai pembeda antara manusia sebagai sebaik-baik ciptaan/mahluk … fi ahsani taqwiim … dengan mahluk yang lain seperti binatang, tumbuhan dan juga yang ghaib seperti jin dan syaitan.

Itulah makanya simak wanti-wanti untuk selalu mengaji … agar ilmu agamanya semakin banyak, hidup menjadi orang yang bener … bermanfaat bagi orang lain.

Tapi, apa yang dikhawatirkan simak dulu memang benar … sekarang terjadi dan lebih parah lagi … apa yang dulu bagi saya sekedar guyonan dari simak ketika simak berkata .. "Ngemben jamane soyo rusak … tuntunan bakal dadi tontonan lan kewalikane tontonan malah dadi tuntunan".

Secara harfiah, akan tiba masa di mana apa yang menjadi tuntunan atau petunjuk, khususnya di sini Al Qur’an, besok akan menjadi tontonan alias sesuatu yang dilihat saja … sementara tontonan, pertunjukan seperti televisi, film, konser, akan menjadi tuntunan … petunjuk bagi orang dalam berkata, bersikap dan bertindak.
Lihatlah … betapa orang sekarang sangat mengagungkan penampilan … menjadi bintang atau selebriti secara instant lebih disukai ketimbang bekerja keras … lantas lahirlah program talent-scouting atau reality show yang mempertontonkan keaslian perangai manusia … berebut sesuatu … sok jaim dan dipoles sana-sini. Lihatlah televisi kita hari ini dan itulah gambaran manusia sekarang … tidak lagi mengagungkan value/nilai namun hanya menuruti nafsu dan kehendaknya sendiri dan cilakanya lagi semua bias dibenarkan dengan akal pikiran kita … Ada sinetron religi tapi mencengnya lebih banyak daripada insyafnya … di bagian akhir diceritakan si tokoh insyaf atau mendapat balasan dari perbuatannya, tapi itu cuma 5 menit … yang 35 menit isinya saat sang tokoh hidup dengan kemewahan, hendonisme dan perlakuan buruk kepada sesama manusia (program sinetron 1 jam = 60 menit, aslinya cuma 40 menit dan yang 20 menit buat iklan … setiap 8 menit commercial breaks yang lamanya bisa sampe 3 menit he ..)

Lihat juga bagaimana iklan di media membentuk “kebutuhan” kita, menakut-nakuti kita dengan sesuatu agar kita melirik dan berpaling pada suatu produk … dengan dalih penelitian/riset, penemuan mutakhir, kesehatan, gimmick artis terkenal … produsen mendikte dan merayu konsumen agar membeli produk mereka … Bahkan ada yang menggunakan tipu daya undian berhadian padahal yang dapat hadiah nggak lain dan nggak bukan kerabat dekatnya … gimmick .. iming-iming dan daya tarik agar orang mau beli … sementara soal kualitas nanti dulu ya …
Ada sebuah guyon menarik dari seorang teman
1. uang 100 ribu terasa sangat banyak kalo disumbangkan ke masjid tapi
menjadi sangat sedikit jika di bawa ke swalayan/supermarket

2. 1 jam dipakai untuk berdiam di masjid terasa lama namun terasa singkat jika dipakai untuk menonton film di bioskop
3. 30 menit terasa sangat lama untuk berdoa namun menjadi sangat singkat jika dipakai untuk nggobrol atau bergosip
4. Orang lebih suka berebut seat/kursi yang paling depan ketika menonton show atau konser sementara lebih suka untuk mendapatkan barisan paling belakang saat sholat berjamaah atau di masjid
5. Orang lebih asyik membaca Koran daripada Qur’an
6. Banyak orang ingin masuk surga tanpa pernah mempercayai, berpikir, berkata atau melakukan sesuatu

Tuntunan menjadi sesuatu yang garing sementara tontonan menjadi sesuatu yang seger … menyenangkan dan mengasyikkan. Tuntunan saat ini banyak dibiarkan begitu saja menjadi sebuah tontonan sementara tontonan dipakai sebagai tuntunan, ditiru, dijadikan pegangan … lihatlah mode, cara bicara, cara berperilaku dalam masyarakat … serba praktis, instant dan sekedar menjiplak dari apa yang dilihat tanpa berpikir panjang mengenai manfaat dan value di balik semua itu.

Betul mak, jaman wis akhir … seperti serat Jongko Joyoboyo

Yen bakal nemoni jaman:
akeh janji ora ditetepi, wong nrajang sumpahe dhewe.

Manungsa padha seneng tumindak ngalah tan nindakake ukum Allah.
Bareng jahat diangkat-angkat, bareng suci dibenci.
Akeh manungsa ngutamakake reyal, lali sanak lali kadang.
Akeh bapa lali anak, anak nladhung biyunge.
Sedulur padha cidra, kulawarga padha curiga, kanca dadi mungsuh,
manungsa lali asale.
Rukun ratu ora adil, akeh pangkat sing jahat jahil.
Makarya sing apik manungsa padha isin. Luwih utama ngapusi.
Kelakuan padha ganjil-ganjil.
Wegah makarya kapengin urip, yen bengi padha ora bisa turu.
Wong dagang barange saya laris, bandhane ludhes.
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan.
Akeh wong nyekel bandha uripe sangsara.
Sing edan bisa dandan.
Sing mbangkang bisa nggalang omah gedhong magrong-magrong.
Wong waras kang adil uripe nggragas lan kapencil.
Sing ora bisa maling padha digething.
Sing pinter duraka padha dadi kanca.
Wong bener thenger-thenger, wong salah bungah-bungah.
Akeh bandha muspra ora karuwan larine.
Akeh pangkat drajat padha minggat ora karuwan sababe.

Betul-betul sudah jungkir-walik, paradoks … berbalik arah … manusia tidak lagi memiliki pegangan hidup atau tuntunan … ngaji atau mencari ilmu dikatakan sudah usang … hidup dituntut serba cepat, instant, modis biar dikatakan tidak ketinggalan jaman …

Simak, semoga saya tetep menjadi cucumu yang istiqomah, bisa membedakan mana tuntunan dan mana tontonan dan bukannya membalikkannnya … menjadikan tuntunan hanya sebagai tontonan dan semua tontonan di manapun (TV, Koran, majalah, kuliah, internet) sebagai tuntunan.

Saya kangen saat-saat ngaji lagi bareng simak, sholawatan dan puji-pujian … membuat ati tentrem dan ayem … Terima kasih atas semua petuah-petuah simak.
Semoga simak damai di alam barzah … dengan senyum seperti yang saya saksikan saat saya mengumandangkan adzan dan iqamah di liang lahat .. tiga belas tahun yang lalu.

Wallahu’alam bishawab.

In memoriam simak Rafi’ah Zuber Asyhari, 22 Desember 1995.
Semoga Allah Ta’ala mengampuni segala dosa simak dan memberikan tempat yang baik di haribaan-Nya sesuai dengan amal baik dan suri teladan yang diberikan selama hidup simak.

Sunday, March 23, 2008

Titel alias Gelar

Ada kesepakatan tidak tertulis dengan istri saya bahwa kami tidak akan mencantumkan titel atau gelar akademis kami pada dokumen apapun, cukuplah nama lengkap pemberian orang tua kami masing-masing. Yang sudah terlanjur seperti undangan pernikahan kami serta buku nikah yang kami miliki kami anggap sebagai sebuah kenangan atas kekhilafan kami. Lho kok khilaf?

Sangat sulit untuk berdiri kokoh di dalam struktur masyarakat yang masih mengagungkan sesuatu bernama materi termasuk di dalamnya titel atau gelar akademis, walo sebenarnya ada juga yang lain seperti misalnya titel H atau Hj. dengan segala hormat. Apa sih fungsi titel? Menunjukkan prestise? Gengsi? Kompetensi? atau sekedar pencapaian hidup seseorang biar diakui atau dianggap hebat oleh masyarakat?

Kami berdiri pada masyarakat yang belum memahami di mana tempat dan fungsi titel itu diletakkan ... mereka yang bertitel umumnya diperlakukan dengan lebih .. lebih dimuliakan .. lebih dihormati .. lebih dipandang mampu dan cakap ... ada konsekuensi yang cukup miris bagi kami yaitu kelebihan dari sisi harta atau materi. Contohnya, dalam masyarakat lazim jika seseorang menyandang titel dokter, insinyur, master atau Ph.D, maka dipastikan orang itu "harus" sugih ... punya rumah yang megah ... mobil keluaran terakhir ... penampilan harus OK ... di kampung harus dermawan .. tanpa masyarakat tahu dari mana rizki yang mereka peroleh dan dengan jalan apa ... Demikianlah tuntutan status pada masyarakat di mana kami hidup. Penghormatan dan penghargaan baru sebatas atribut material yang melekat .. walapun banyak peristiwa yang menjelaskan bahwa status tidak mesti sebanding dengan kekayaan.

Ada seorang kepala kelurahan di tempat kami tinggal yang sangat "dermawan", nyah nyoh alias gampang mengeluarkan uang untuk orang lain ... kerja bhakti ya nyumbang makanan, rokok ... rumahnya sangat mewah untuk ukuran kami yang tinggal di perumnas hehehe ... mobil keluaran tahun terakhir ... dan kemarin pas mantu alias punya gawe menikahkan anak perempuannya , acaranya sangat luar biasa ... 3 hari 3 malam nonstop tamu berdatangan ... Itulah momentum puncak Pak Lurah dengan statusnya ... karena seminggu kemudian dia harus berurusan dengan polisi karena terlibat berbagai kasus makelar (perantara tanah dan bangunan), penggelapan pajak, manipulasi dokumen, pungutan tidak resmi dan hutang dengan beberapa bank. Cukuplah sudah Pak lurah dengan statusnya yang terhormat itu ... dan sekarang istrinya kembali kepada keluarganya ... bersama anak-anak yang belum menikah ... rumah disita oleh bank ... karir sebagai sumber penghasilan yang akhirnya harus tamat.
Sadarlah akhirnya masyarakat dengan gumaman .. Oooo jebule le sugih ki mergo korupsi karo ngapusi tho?

Ya iyyalah ... hehehe ... berapa sih gaji lurah sebagai PNS golongan III C/D, paling banter take home-nya ya 2 jutaaan ... gak tahu yang gak resminya hehehehe ...
Tapi karena menyandang status yang terlalu berat ... jadilah Pak Lurah itu menempuh shortcut untuk mengimbangi statusnya di mata masyarakat. Satu yang mengagetkan kami adalah beliau ternyata seorang sarjana hukum .... walah! Sarjana hukum kan kompetensinya ya ngerti masalah hukum ... tahu mana yang benar dan mana yang salah ... e lha kok malah jalan terus dengan hal yang salahnya.

Masih banyak contoh di dalam masyarakat di mana sebenarnya titel lebih identik dengan status dan gengsi daripada sebuah wujud kompetensi akademik. Ada seorang teman yang bekerja pada sebuah PTS ... yang mahasiswanya mayoritas seumuran pak liknya. Apa tujuan kuliah ... ya nyari gelar, biar pangkat dan jabatan naik ... hasilnya ya yang penting nilai dan lulus, nggak peduli ilmunya nyantel nggak .. yang penting nilai baik dan lulus ... Celakanya motivasi ini banyak dibarengi dengan tindakan yang kurang terpuji ... datang ke rumah dosen dengan membawa punjungan ... memberikan ini dan itu ... yang nggak mungkin dilakukan kalo yang bersangkutan tidak menyandang status sebagai mahasiswa mata kuliah dosen itu ... Dengan cara-cara seperti ini diharapkan mereka dapat mengambil hati sang dosen dan pada akhirnya tugas dan soal ujian dipermudah .. bahkan kalo bisa dinegosiasikan dan akhirnya mendapatkan nilai yang baik ... lulus ... dapat gelar ..

Itulah makanya di benak saya masih saja tersisa sebuah pertanyaan ... setiap tahun negara kita ketambahan sarjana, master-magister, doktor-Ph.D bahkan para profesor ... tapi mengapa kondisi pendidikan, sosial-ekonomi, hukum ... singkatnya kehidupan kita bukannya bertambah baik dan benar tapi malah semakin tidak karuan? Dua orang profesor senior yang pernah saya ajak diskusi dan saya lontarkan pertanyaan ini tidak bisa menjawab ... mengalihkan kepada hal lain.

Kalo begini .. apa gunanya sekolah, sekolah tinggi, universitas dengan berbagai atribut gelar yang dimilikinya jika tidak bisa memberikan kontribusi yang positif dan signifikan bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat?
Makin banyak orang pinter di bidang hukum (sarjana, notaris, master-magister, doktor dan profesor) tapi hukum kita makin tidak jelas ... yang salah bisa jadi benar dan yang benar sering disalahkan ... yang mau bayar dilancarkan ... yang lugu dan tidak punya dicelakakan ...

Di bidang yang saya tekuni yang berkaitan dengan politik, kondisinya lebih buruk lagi. Politik sebagai sebuah ilmu hanya dijadikan sebagai pembenar atau justifikasi atas tindakan, motif dan kepentingan kelompok tertentu saja. Tidak pernah dan tidak benar bahwa apa yang mereka lakukan berorientasi kepada rakyat. Rakyat hanyalah sebagai pembenar semata. Tengoklah pemilihan kepala daerah langsung yang seperti sedang menjadi tren di Indonesia ... betapa politik di tingkat lokal hanya sebagai mainan elite dan pemodal ... ada take and give saat kampanye dan saat menjabat selama 5 tahun kelak. Demokrasi? konsep lucu dari mana ketika selembar kertas suara dapat mengawal kepentingan rakyat untuk 5 tahun ke depan ? Saya tidak percaya dengan demokrasi karena itu hanyalan gula-gula politik ... Amerika dan Eropa yang katanya kampium demokrasi juga tidak se-smooth yang saya bayangkan sebelum mengalaminya sendiri ... bahkan ketika saya berdiskusi dengan profesor senior di Political Science Dept., yang menggerakkan demokrasi bukan lagi kepentingan rakyat .. tapi lobby dan uang ... itulah jalan pintas kalau ingin berkuasa ... Demokrasi hanya sebagai justifikasi bagi aktifitas politik yang dinaungi oleh kesadaran kolektif akan sebuah sistem yang ideal dan memihak rakyat walau pada praktiknya sangat bertolak belakang .... Demokrasi hanyalah titel bagi elit politik yang ingin mengekalkan kekuasaannya dengan bermain wacana atas nama rakyat.

Di Indonesia buktinya sekian lama pemilihan kepala daerah langsung yang muncul malah namanya konflik, korupsi serta arogansi kekuasaan ... tidak ada kalo bisa dikatakan sangat sedikit demokrasi lokal yang sukses mensejahterakan rakyatnya ... Ada juga cerita menarik dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang katanya sukses di bidang investasi ... saat saya main ke pabrik-pabrik (maksud mereka mau nunjukin .. ini lho realitasnya he ..) tapi yang saya tangkap sebenarnya realitas yang menyesakkan ... bagaimana tidak, ribuan buruh yang bekerja di pabrik yang katanya mendorong investasi ternyata hanya dibayar 400 ribu rupiah perbulan dengan 8 jam kerja seminggu selama 5 hari ... sangat jauh di bawah upah minimum regional ... secara ketakutan mereka para pekerja bercerita bahwa tidak ada alternatif lain bagi mereka selain menerima pekerjaan dengan upah tidak sepadan itu daripada menganggur dan tidak punya uang ... padahal setiap hari butuh uang untuk makan, anak sekolah .. belum yang lain seperti kesehatan. Jadi teman .. kalo ingin tahu keberhasilan investasi .. jangan tanyakan pada bupati atau kepala dinas .. tanyakan pada buruh yang berpeluh untuk berjuang menjalankan roda ekonomi riil ... berkorban untuk kepentingan pemilik modal yang mungkin sudah bersekongkol dengan penguasa lokal hehehehe...

Makanya saya nggak kaget ketika temen-temen dari department lain nanya , kamu kuliah di department apa? Dijawab Political Science ... sebagian mereka terbelalak dan kaget walo akhir-akhirnya menjawab kalem .. that's great! Great apane ?

Di Indonesia banyak jurusan Ilmu Politik tapi kerjaannya sehari-hari hanya berdiskusi dan berdebat soal teori yang datangnya entah dari mana. Bukannya menciptakan solusi tapi malah mengklaim kebenaran satu sama lain. Bukannya mengkaji teori apa yang muncul dari dinamika masyarakat kita .. malah ngambil, ngadopsi dari mana entah untuk dijejalkan kepada masyarakat. Lihatlah di negeri anu ... negara itu ... filosof ini .. itu ... metodologi ini dan itu ... apa artinya kalo tidak bisa menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat?

Celakanya lagi banyak di antara teman-teman kami dari seluruh Indonesia yang hanya jadi intelektual tukang yang bekerja atas pesanan pihak tertentu, survey pilkada, tim sukses, legitimasi kebijakan ... seolah dengan menggunakan para intelektual dari perguruan tinggi mereka bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat.... O alaaaah !


Jadilah titel sekarang hanya untuk kepentingan praktis dan prestise .. buktinya, seseorang justru akan berdebat mati-matian mempertahankan pandangannya daripada bersepakat mencari jalan keluar yang lebih baik dan bijak. Itu tandanya sudah ada keberpihakan kepada sesuatu .. bukan kepada ilmu itu sendiri .
Dan yang lebih menyakitkan bagi saya ... bagaimana titel itu kemudian malah menjadi alat, daya tarik untuk mendatangkan uang, gengsi, status, jabatan dan kehormatan ... bukan untuk menciptakan sebuah kreasi yang bermanfaat bagi sesama manusia.

Semoga ijtihad saya dan istri mengenai titel membawa manfaat bagi kami dan juga teman-teman yang sempat mampir membaca unek-unek saya ini ...
Semoga Allah Ta'ala menunjukkan jalan yang lurus dan baik bagi kita, di dunia ini dan di akhirat kelak ..
Mohon maaf jika ada tulisan yang tidak berkenan ... saya hanya berusaha untuk jujur walau kadang pahit atau menyakitkan.

Wallahu'alam bishawab.


Buat istriku, Yesika Maya Ocktarani ...
yang sederhana, bersahaja dan nggak neko-neko he ...

Saturday, March 22, 2008

Akal dan Wahyu

Yang jelas mereka bukan nama teman-teman saya, cuma beberapa hari ini dua hal itu senantiasa berputar-putar di dalam kepala ... gara-gara sepele .. kenapa orang Amerika banyak yang tidak beragama. Pada kuliah budaya politik merujuk ke temuan Tocqueville bahwa orang Amerika lebih religius dibandingkan dengan orang Eropa dengan alasan bahwa di Eropa agama dijadikan sebagai pembenar oleh penguasa buat menipu rakyat sementara di Amerika para pendeta berusaha menjaga jarak agar agama tidak digunakan untuk kepentingan politik (1820-1840).

Tapi menurut saya konteks itu sudah tidak relevan lagi. Sekarang ini baik Amerika maupun Eropa sedang mengalami krisis agama ... salah satu fenomena yang sedang terjadi adalah banyak di antara mereka mencari apa yang dinamakan Easternism ... entah Confusius, Budha, Hindu, Islam ... mulai dari cara makan, bahan makanan, semedi, relaksasi, therapy ... semuanya serba "ke timur" bahkan dibilang back to basic ... mengapa? Hidup yang jenuh, bosan, penuh dengan rutinitas dan tidak memiliki makna membuat mereka haus mencari sesuatu yang lain, yang beda, yang orisinil dan menenangkan hati ... Dugem, drugs bahkan sampe bunuh diri sudah menjadi rahasia umum bahwa semua itu merupakan pelarian atas kenyataan hidup yang mereka alami. Dan semua itu bukannya menyelesaikan masalah namun malah menambah masalah menjadi ruwet ... Ketika orang di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan, maka ia kehilangan kontrol atas dirinya sehingga sangat mungkin terjadi perbuatan yang justru merugikan dirinya maupun orang lain ... bawa mobil ya akhirnya nabrak atau nyungsep ke tempat yang tidak semestinya, pulang ke rumah malah berantem sama istri, suami, keluarga ... hasilnya anaknya jadi broken ... keluarga sebagai pilar masyarakat yang paling kecil dan solid menjadi tidak berguna. Sementara tekanan hidup yang semakin tinggi membuat dosis konsumsi alkohol dan obat-obatan menjadi semakin tinggi pula ... kalo kagak fly, kagak enak Coy ... begitu mungkin katanya. Hasilnya orang jadi ketergantungan, kehilangan kontrol alias degradasi mental ... jadi temperamental ... gampang marah, menyalahkan orang lain ... menjadi orang yang bersumbu pendek alias gampang meledak-ledak yang buntutnya justru sangat merugikan diri sendiri ... Dan di dunia ini tidak ada sejarah dengan lari dari kehidupan menggunakan alkohol dan obat-obatan menjadi solusi paling baik ... hasilnya justru sangat buruk ... penjara, pusat rehabilitasi, rumah sakit atau kuburan! Bunuh diri juga ada yang menjadikannya sebagai alternatif terakhir ... daripada susah hidup di dunia ... mendingan mati aje .. Naudzubillah!

Itulah gambaran kehidupan manusia modern ... secara materi mengalami kemajuan namun secara mental sangat rentan dan mudah rusak. Hidup hanya dipenuhi materi, target, argumen, strategi, intrik tanpa jelas apa yang dicari ... pusing? Main aja ke bar ... dugem ... menghabiskan waktu dengan fun dan berharap hari segera berganti ... Ada sebuah guyonan menarik dari Aa Gym ... mengapa manusia diberi akal ... ya untuk berpikir ... dan Allah Ta'ala melengkapinya dengan Al Qur'an untuk dipelajari, dijadikan tuntunan dalam hidup ... Itulah mengapa hanya manusia yang diberi Al Qur'an ... karena manusia-lah mahluk yang berakal ... bukan kambing, banteng atau gajah. Akal inilah yang berfungsi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk ... mana yang manfaat dan mana yang mudharat dengan tuntunan Al-Qur'an atau wahyu ...Kata Aa Gym, kambing saja mau kawin nggak bingung dengan stock rumput, lebih-lebih manusia ... yang punya akal dan bisa berpikir ...

Saya bisa membayangkan jika akal manusia yang sama dengan akal mahluk lain yang bisa berpikir ... mempertajam insting ... tanpa adanya wahyu ... maka manusia akan berbuat semaunya sendiri bahkan mungkin gak ada bedanya dengan kambing ... Ups! Kawin bisa kapan saja, di mana saja bahkan dengan siapa saja ... Itulah mengapa wahyu menetapkan apa yang dinamakan dengan pernikahan ... rukun, syarat, tujuan dan manfaat semuanya guna mengatur fungsi sexual dan reproduksi manusia. Ada teman yang meneliti mengenai same-sex marriage di Amerika ... hasilnya banyak negara bagian yang menolak konsep itu termasuk di dalamnya gay dan lesbian dengan alasan hal itu bertentangan dengan agama ... What? Agama? Gak salah tuh ... emang selama ini ke mana aja ? Bukannya agama nggak praktis? Kolot? Merendahkan perempuan? Ribet? Memicu konflik? Tidak bisa dijawab secara ilmiah? Mengkotak-kotakkan manusia? Nggak pernah bisa menjawab semua pertanyaan yang berkecamuk di akal manusia?

Oh .. come on ... bagaimana manusia bisa memvonis sesuatu ketika ia tidak melakukan pengamatan, riset atau memiliki pemahaman secara komprehensif? Bagaimana seseorang bisa berpendapat dengan akalnya yang kadang menentang wahyu padahal ia sendiri tidak paham apa yang ia bicarakan?

Bagi saya wahyu itu menuntun akal ... karena akal kita terbatas ...
Kalo kita hanya mendasarkan akal saja ... kata simbah saya nanti bisa keblinger!
Lho ... tengoklah apa yang dinamakan dengan teori ekonomi, ilmu pengetahuan, strategi bisnis ... apapun yang bergerak dan bernafas tanpa tuntunan wahyu hasilnya bakal mengecewakan. Adam Smith dengan invisible hand-nya bukan lagi sebuah konsep yang jenius karena tidak mungkin harga itu dicapai tanpa intervensi dari aktor-aktor yang terlibat dalam apa yang dinamakan dengan pasar. Pasar tidak obyektif tapi sangat subyektif ... Jaman SMA dulu ada guyonan ... ketika mendengar harga cabe di RRI sangat terjangkau dan rasional dengan kondisi keuangan rumah tangga, seorang ibu pergi ke pasar untuk membeli cabe. Tapi sampai di pasar ia hanya menemui kenyataan yang mengecewakan ... saat menawar dan berdebat dengan penjual cabe si ibu malah dibilangin sama penjual cabe .. ya sudah sampeyan beli cabe di RRI saja yang lebih murah ... di sini nggak bisa Bu .. walah!

Baru-baru ini di Eropa sedang digegerkan oleh penyangkalan atas Teori Evolusi yang termasyhur itu ...pendapat Darwin bahwa organisme terjadi secara spontan dan berangsur-angsur mengalami perubahan mulai diragukan orang. Jauh sebelum Darwin, Anthony Van Leuwenhoek (1632-1723) sang penemu Mikroskop dari Belanda sudah meyakini tentang teori penciptaan, bahwa ada sesuatu yang menciptakan organisme .. tidak mungkin terjadi begitu saja. Dari pengamatan mikroskopisnya ia meyakini bahwa setiap organisme pastilah memiliki induk.

Fenomena yang sedang marak di Eropa ini juga membuat perubahan fundamental seorang atheis bernama Anthony Flew seorang professor filsafat dari Inggris yang masyhur dengan karyanya Theology and Falsification (Teologi dan Pembuktian Salah) yang menjadi rujukan atheis di seluruh penjuru jagat. Bagi Flew, teori evolusi tidak dapat menjelaskan asal mula kehidupan ini bahkan dengan menolak konsep penciptaan dan Pencipta. Menurutnya, alam semesta yang sangat rumit ini tidak dapat dilepaskan dengan apa yang dinamakan dengan Sumber Cerdas ... Pencipta ... argumen ini yang menuntunnya meyakini adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Sumber Cerdas tadi ...

Dan sekarang setelah ribuan tahun hidup di muka bumi mengapa manusia tidak mengalami evolusi secara fisik misalnya? Itulah salah satu jawaban atas ilmu pengetahuan yang tidak dituntun oleh wahyu ... hanya sepertiga abad eksis .. dan teori evolusi sekarang dipertanyakan bahkan mulai ditolak di beberapa tempat.

Ada juga hal yang berbau ilmiah yang saya dapat saat hari raya Qurban kemarin ... soal memotong hewan ... mengapa harus 3 titik utama yang putus tapi tidak boleh sampai memutus lehernya? Ada sebuah penelitian yang menjelaskan bahwa 3 titik itu adalah saluran utama atas peredaran darah, makanan dan udara pada mahluk hidup ... kita tahu juga ada penghubung antara syaraf otak sebagai pusat komando organisme dan jantung sebagai alat pemompa darah ke sekujur tubuh. Dari sisi peredaran darah .. ketika saluran tersebut putus maka darah akan memancar keluar tapi tidak naik ke otak .. lha otak akan mengirim sinyal bahwa kami butuh darah ... kirim darah ke otak sebanyak-banyaknya, lantas jantung bekerja sesuai mekanismenya mengirim darah sebanyak-banyaknya ke otak ... semua darah yang ada di dalam jaringan tubuh diambil dan dipompakan ke otak ... tapi jelas semua darah itu akan keluar karena salurannya telah putus, begitu pula darah yang ada di otak juga turut keluar ... Itulah makanya cara memotong hewan qurban sesuai sunatullah ini akan menghasilkan daging qurban yang bersih ... tidak ada ceceran darah pada organ tubuh karena semua darah sudah terpompa keluar ... subhanallah ... ternyata di kemudian hari ilmu pengetahuan baru dapat menemukan jawabannya.

Lain lagi di bidang bisnis, konsep outsourcing yang mengefisienkan pengeluaran perusahaan atas gaji dan tunjangan pegawai terbukti hanya manis di atas kertas saja. Praktiknya sangat merugikan pegawai dan juga perusahaan ... tidak ada jenjang karir, bekerja berdasarkan kontrak dan sewaktu-waktu jika tidak memenuhi kriteria maka kontrak tidak dilanjutkan .. itu artinya nganggur lagi ... sementara gaji setara UMR, tidak ada bonus, tunjangan ataupun asuransi kesehatan. Buat ekspansi bisnis jelas ini sangat menguntungkan, tapi apakah konseptor ini lupa bahwa bisnis tidak akan berjalan tanpa pelaku yang bernama manusia ... yang butuh juga mendapat kompensasi yang layak atas jerih payahnya? Saya yang pernah berkecimpung dalam hal ini merasa bahwa sistem ini sangat tidak sehat dan merugikan pegawai .. pasti akan ada konflik, chaos dan penyalahgunaan wewenang karena berbagai keterbatasan yang ada bagi seorang pegawai. Alhamdulillah Allah Ta'ala memberikan jalan yang terang sehingga dipilihkan jalan rizki yang lebih baik sekarang.

Beberapa hal di atas adalah bukti bahwa akal tanpa wahyu tidak akan kekal dan bermanfaat ... makanya saya heran ketika marak upaya untuk mendekonstruksi wahyu menggunakan akal dengan alasan kontekstualitas, universalitas, ilmiah ... bagaimana mungkin? Lebih mengherankan lagi mereka yang memberikan tafsir atas wahyu itu berdiri dengan frame hermenutika ... filosofi yang berasal dari Barat, padahal di kalangan ahli tafsir sendiri ada aturan yang sangat ketat dalam memberikan tafsir atas wahyu (Al Qur'an), misalnya harus menguasai bahasa Arab dengan baik, mengerti tentang nahwu, shorof, balaghoh maupun sejarah/asbabun nuzul dari setiap ayat Al Qur'an, yang lebih penting lagi adalah memahami keseluruhan isi dan kandungan Al Qur'an karena ayat satu dan lainnya memiliki hubungan yang saling melengkapi. Ada satu lagi pendapat sarjana muslim, seorang doktor yang mengatakan bagaimana mungkin kita belajar agama yang suci kepada orang yang junub?


Jadi, bagaimana mungkin akal akan dipakai untuk "menundukkan" wahyu ... terlepas, bagi saya wahyu adalah sebuah dogma, rahasia yang harus dimaknai dengan menjalani .. bukan hanya dengan dibaca saja, jika perangkat yang dipakai tidak compatible ... ibaratnya montir otomotif kok mau nimbrung ke urusan koki/masak-memasak ... ya jelas kacow lah ... Jika mau mendekonstruksi .. apapun itu, pahamilah dahulu substansinya dan carilah manfaatnya, bukan atas dasar ideologi tertentu tapi dari hati nurani dan kepentingan yang lebih besar ... jika muncul pro atau kontra atau malah kontranya lebih banyak .. maka kita harus merenung ... ada apa dengan langkah kita? Bukan sebaliknya malah menantang untuk dibuktikan secara ilmiah karena jelas ilmu sangat jauh ketinggalan dari apa yang ada pada wahyu ...

Cobalah mulai dari yang sederhana, mengapa manusia harus menikah? Jikalau sameleven-kumpul kebo atau apa namanya saja bisa ... mengapa ada konsep muhrim? Mengapa ada kewajiban? Mengapa ada konsep ikhlas ... akhirat ... alam barzah ... Menurut saya itu lebih penting dan signifikan daripada sekedar berkoar-koar tentang universalitas, fatwa sesat, kesetaraan gender, poligami, bid'ah, dan mengutak-atik wahyu dengan alat yang tidak kompatibel.

Dunia ini tidak butuh orang yang banyak mulut tapi tidak bisa bekerja dan melakukan apa-apa ... bahkan untuk urusan kecil membantu orang lain dalam rangka kemaslahatan bersama.

Semoga Allah Ta'ala melindungi kita dan memberikan petunjuk atas kebenaran di sanubari dan pikiran kita.

Wallahu'alam bishawab.

Inspirasi dari khutbah jum'at di Islamic Center of Laramie, suatu saat di Desember 2007, www.hidayatullah.com dan keresahan atas kebebasan berpikir dalam bingkai Islam Liberal ... padahal Islam bukan hanya liberal tapi RADIKAL! hehehehe...peace!

”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.”

(Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Prof. Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam

Thursday, March 20, 2008

Kebenaran punya siapa?

Beberapa hari ini saya sering bingung melihat polah-tingkah orang-orang ... ngomong soal agama dituduh fundamentalisme, ngomong soal kesejahteraan rakyat dicap sosialis, ngomong bisnis sedikit dikira kapitalis, ngomong yang bebas-bebas, liar disasar liberal ... nggak ngomong babar blas .. diarani bodho, tidak bisa berpendapat dan tidak punya pendirian.
Bagaimana baiknya?

Rata-rata semua menempatkan otoritas kebenaran kepada sisinya masing-masing, sing fundamental, berbicara dan bertindak "atas nama Tuhan" bahkan sampe kadang melakukan kekerasan pada pihak lain (apapun namanya hal seperti ini sangat tidak dibenarkan!), sing sosialis yang dipikir banyak orang tapi tidak menyadari bahwa setiap orang punya kekhasan, previllege ... hal yang sifatnya pribadi yang tidak bisa digebyah-uyah untuk semua orang. Yang kapitalis menganggap semua adalah benda yang bisa dikomoditaskan alias dijualbelikan, sampe organ tubuh pun sah saja ... orientasinya ya satu ..UNTUNG! nggak peduli orang lain rugi atau kalo perlu malah memeras orang lain yang penting mas untung di tangan. Liberal menganggap bahwa semua ini bebas diterjemahkan dan diatur-atur atas dasar rasa pribadi .. jadi saya mau polygami, zina, jajan ... itu urusan saya, sampeyan ndak usah ikut campur ... kalo perlu saya cari pendukung yang banyak biar apa yang saya lakukan terlegitimasikan dan menjadi hukum bagi semua orang.

Paling cilaka yang nggak bisa ngomong blas ... jadilah orang bodho yang tidak tahu apa-apa ..diombang-ambingkan oleh berbagai isme-isme yang mengklaim dirinya paling tepat dan benar sementaranya yang lainnya salah total.

Sebenarnya siapa yang memegang kendali atas kebenaran itu? Kebenaran yang sejati .. yang datang tanpa paksaan, todongan senjata, tuduhan atau nistaan, suap atau pemerasan? Kebenaran yang mencerahkan kita sebagai manusia yang sama ... meski intelektualitas, status, kekayaan, derajat yang kita miliki berbeda-beda. Kebenaran yang mana yang tidak menghakimi bahwa aku benar dan engkau salah ... aku pintar engkau bodoh ... aku modern engkau tradisional ... aku fleksibel kamu kolot ... aku tren kamu ketinggalan jaman ....

Apakah akal pikiran kita selalu mendorong kita mengkooptasi dan menguasai pemikiran orang lain atas nama keyakinan kita semata? Kalaupun terbuka ruang untuk berdiskusi dan debat ... hanya kemenangan argumentasi yang dicari? Bukan pencerahan sebagai manusia yang berguna bagi manusia lain?

Apa itu pencerahan?
Apa itu kebenaran?
Di tangan siapa kebenaran itu ada?
Bagaimana membuktikannya?

Orang taat beragama dibilang kolot, orang bertuhan ditantang membuktikan secara eksak, orang jujur dibilang bodoh tidak bisa membaca keadaan, orang korupsi dipuji-puji, orang berzina dipuja-puja, pemenang debat dibilang hebat, akal pikiran disanjung tinggi tanpa mau tahu siapa yang menciptakannya ... Filsafat jadi bahan debat, pengkotakan faham yang menciptakan fanatisme satu atas yang lain, pembenaran satu di antara yang lain ..

Permainan akal manusia ... sampai kapan akan berlangsung ? Sementara kebenaran tetap ada dalam genggaman semua orang namun jika dipersatukan malah akan mendatangkan kekacauan ... Aneh ... semua orang mengaku paling benar .. tapi jika semua kebenaran itu disatukan yang muncul adalah pertengkaran dan perbedaan ..

Di manakah kebenaran sejati ?

Wednesday, March 19, 2008

Kepada siapa kita musti tunduk?

Ada hal yang menarik menyangkut hubungan antarmanusia, khususnya tentang anak dan orang tua. Saat ini sangat jarang saya melihat ada anak yang tunduk-patuh kepada orang tuanya. Bagi saya yang lahir dan dibesarkan dalam budaya Jawa, ketundukan dan kepatuhan itu dapat dimanifestasikan dalam berbagai hal, misalnya diam dan mendengarkan ketika orang tua berbicara/menasehati, menyegerakan memenuhi panggilan, menerapkan sopan santun/unggah-ungguh, salah satunya menggunakan bahasa kromo, mencium tangan ketika berjabat tangan, menggunakan nada suara yang halus, bahkan ketika tidak setuju, dan masih banyak lagi yang lain.

Budaya bukan diciptakan untuk mengekang kebebasan manusia, namun justru membedakan manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi, makanya budaya dirunut dari budi dan daya, artinya pemikiran dan perbuatan. Budaya adalah nilai universal bagi sebuah komunitas yang menginginkan keteraturan, keharmonisan dan kebaikan dalam hidup. Dan budaya bukanlah sesuatu yang konstan, sakleg ... namun sangat dinamis ... bahkan di jaman global ini budaya menjadi karakteristik sebuah komunitas ... banyak orang dari seluruh penjuru bumi datang ke Solo atau Jogja misalnya, untuk melihat budaya Jawa yang adiluhung ... meski di antara sebagian kita menganggap budaya Jawa sudah kuno, hanya buat simbah-simbah saja ... walah, blaik!

Budaya mengatur mekanisme hubungan antarmanusia, bagaimana berbicara, bersikap dan bertingkah laku dan budaya bukan monopoli suatu kaum/elit saja, katakanlah kalau di Jawa ya mereka yang berdarah biru atau tinggal di dalam keraton saja. Siapapun memiliki otoritas untuk menjalankan dan menjaga budayanya agar keharmonisan tetap terjaga. Namun jika kita melihat di sekitar kita ... dapat ditemui bahwa budaya yang kita miliki mulai luntur. Sangat jarang seorang anak bisa berbahasa kromo kepada orang tuanya, menunjukkan sikap tunduk dan hormat kepada sesama mahluk yang telah menjadi perantara ke dunia dan menghantarkan kepada martabat manusia. Alasannya? Ribet, kolot, kuno ... nggak modern dan praktis ... whe lha (lagi).

Apakah dunia sekarang ini hanya diukur dengan nilai-nilai material yang berwujud kepraktisan, modernitas, liberalitas ... nilai-nilai yang diagungkan sebagai ijtihad akal manusia yang menginginkan kendali atas semua kosmos ini? Manusia yang mulai mengagungkan akalnya dengan menafikan tatanan yang telah ada dan membentuknya ... sehingga akal menjadi berhala baru ... sesuatu yang bisa diterima oleh akal itulah yang baik ... yang tidak bisa dijelaskan oleh akal adalah tidak baik ..tidak perlu kita lakukan. Mengapa kita harus boso kepada orang tua dan orang yang lebih tua? Toh, kita sama sebagai manusia ... yang membedakan kan duitnya, pinternya, titelnya, ganteng atau ayunya .... (lha tho ...). Sangat bisa jadi manusia semacam inilah yang tidak ingin terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran yang telah mapan (baca: kuno dan kolot), tidak mau dikungkung oleh budaya lama namun menciptakan bentuk kooptasi baru atas nama akal, modernitas dan rasionalitas yang sangat-sangat subyektif. Jadilah model manusia yang individualis ... peduli apa dengan orang lain, this is my way, man ? Get out ! Manusia yang hanya tunduk kepada pemikirannya dan tidak mau merefleksikannya dengan lingkungan sekitarnya, menganggap dirinya pemegang otoritas kebenaran dan kepatutan di dunia ini.

Budaya? Whats for? Itu kan cerita kakek nenek kita saja ... kita hidup di dunia global men! Kita harus ikuti apa itu globalisasi ... nggak jaman lagi deh apa itu unggah-ungguh ... huuu, feodal! Salah-salah kita nggak kebagian apa-apa ..... Modern dunk! Pake akal tuch, jangan disimpen aja di dengkul ....

Jadi, kepada siapa kita musti tunduk? Haruskah kita mempertuhankan akal kita? Apa arti budaya ... apa arti agama bagi kita? Sekedar formalitas kewarganegaraan? Hak asasi? Asesoris? Baju kebesaran yang hanya kita pakai pada hari Jumat, Minggu atau ketika kita berduka cita saja?

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah.

Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.

Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.

Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah kembali(mu).

(QS. Al Alaq 1- 8)

Wallahu'alam bishawab.

Kata dan perbuatan

Banyak orang bilang ... seseorang sebagai pribadi dinilai dari banyak hal. Pertama dan utama adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah fisik, penampilan. Tapi banyak orang akhirnya tertipu jika hanya menilai dari sisi ini saja. Lantas banyaklah kriteria penilaian terhadap orang di luar fisik, intelegensi (IQ), perkataan, sikap, perbuatan, akhlak, keluarga, relasi dan lain sebagainya.

Satu yang menarik bagi saya dan sangat sederhana bahwa kita dapat menilai pribadi orang lain dari kata dan perbuatannya. Apakah ada kesesuaian di antara keduanya?

Banyak orang pintar berkata-kata, kutip sana kutip sini atas nama kitab suci, kebenaran ilmiah, konsensus ilmuwan, sejarah, rasionalitas, filsafat, ilmu pengetahuan, seolah dia dilahirkan untuk menjadi juru dakwah dari sesuatu yang diyakininya. Kadang dengan congkaknya memvonis orang lain tidak benar, tidak ilmiah, tidak rasional, tidak agamais, tidak bijak .... tidak seperti gue gitu loch! Saya bicara maka saya ada, inilah saya .... Maka muncullah profesi dengan latar belakang pengecer mulut ini, mulai tukang obat, sales, artis, pendakwah, ilmuwan (termasuk di dalamnya guru dan dosen -dengan segala hormat-), broker, makelar sampai yang paling sederhana adalah timer/manol ... orang yang menawarkan jasa transportasi yang biasanya berada di halte atau titik strategis tempat orang menunggu kendaraan umum. Apakah profesi itu baik? Ya, jelas bahkan sangat mulia jika ia yang mengenakan profesi itu melakukannya dengan kesungguhan, dengan hati dan berniat bagi kebaikan. Lantas apa yang salah? Tidak ada yang salah ....

Ada juga orang yang pelit bicara, lebih suka melakukan sesuatu, menjalankan sebuah pekerjaan tanpa harus basa-basi, ba bi bu, omong sana-sini. Cekat-ceket bahasa Jawanya. Bahkan ada sebagian orang di sisi ini yang muak melihat berbagai basa-basi dan umbar kata-kata. Kakeyan c*c*t katanya. (Ups, sensor nih!).

Well, 2 kutub yang berbeda ini sangat menarik untuk dicermati, namun banyak juga orang yang lebih memilih satu di antara keduanya. Sayangnya kebanyakan lebih memilih untuk berkata dan berwacana daripada "bekerja", doing something worthy. Sehingga sebuah ungkapan Jawa .... sepi ing pamrih rame ing gawe...(diam-diam dalam mengharapkan imbal jasa, beramai-ramai dalam bekerja) menjadi tidak bermakna lagi bahkan mengalami penjungkirbalikan dari makna sesungguhnya. Orang lebih suka .... sepi ing gawe rame ing pamrih ... (diam-diam dalam bekerja, atau malah tidak bekerja dan ramai mengharapkan imbal jasa). Hasilnya sering kita lihat bahwa di sekitar kita lebih banyak orang debat, argumentasi tentang sesuatu hal ... namun kosong dalam realisasi, kaya konsep tapi miskin operasionalisasi. Pemberantasan korupsi hanya berhenti di meja seminar, pemberdayaan masyarakat hanya jadi perbincangan hangat di kafe, bahkan hal yang sangat fundamental seperti masalah agama dan kepercayaan hanya berhenti di televisi dan diskusi.

Dari sini terlihat, betapa orang lebih suka umbar janji dan mulut ketimbang melakukan sesuatu pekerjaan sebagai kelanjutannya. Banyak omong itu baik ... bisa jadi mencerahkan ... namun akan lebih baik omongan itu dibuktikan dengan karya nyata. Inilah state of mind saya ... dan inilah implementasinya. Perfect!

Jangan sampai kita menjadi orang yang terkungkung dengan hanya bisa bicara dan berujar ... namun tidak bisa menjalaninya.

Makna pribadi seseorang adalah paduan antara kata dan perbuatan, bagaimana keduanya saling melengkapi dan mencerahkan bagi sebuah kehidupan, bukan malah mencelakakan atau menistakan di antara keduanya atau bagi orang lain di sekitarnya.

Mari kita renungkan ... sudahkah sesuai kata dan perbuatan kita?

Tuesday, March 18, 2008

B I L L

Ia bernama Bill ... tapi bukan Bill Cosby apalagi Bill Clinton.

Pria separuh baya (mungkin 50an tahun), mantan US Navy ini selalu setia mengantar mahasiswa dari kampus ke Express Lot tempat mahasiswa memarkirkan mobilnya atau apartemen mahasiswa yang ada di seberangnya, dengan bis TransPark yang kira-kira memakan waktu lebih kurang 5 menit.

Di Laramie tidak ada angkot, kalopun ada ya on-call atau melayani jalur ramai, namanya SAFE RIDE. Gratis bagi warga Laramie dan mahasiswa UWYO. Bisa ditelpon juga dan tongkrongannya kayak Toyota Innova.

Saya selalu ketemu Bill jika selesai kuliah malam, jam 8-9. Bill sangat akrab dengan hampir semua mahasiswa, paling tidak terlihat setiap ada mahasiswa yang akan memasuki bis pasti disapa oleh Bill dan para mahasiswa itu menjawab dengan rileks seperti ketemu teman saja. Kadang juga ada yang ngajakin tosss ...! Give me five !

Bill suka banget kalo kami, mahasiswa Indonesia, pada naik bisnya. Karena bakalan rame dengan celotehan dan juga ..... NYANYI!

Lagu andalan kami adalah ... Are you lonesome tonight .. atau ... Can't help falling in love ... country road ...

Kalo kita sudah naik, Bill mulai nyanyi .. mau nggak mau kita jadi koor ... dan penumpang atau mahasiswa lain cuma cengar-cengir, malu-malu ngikutin nyanyi. Jujur saja walo suara saya pas-pasan (bahkan kata istri, saya sering memaksakan nada kalo nyanyi .. he ..) tapi saya ngerasa PD banget kalo sudah nyanyi bareng Bill dan teman-teman. Semua beban rasanya ilang (reading, assignments, research paper)... bisa kemringet (hal luar biasa yang terjadi di Laramie karena kalo malam suhunya bisa minus .. dan anginnya rek, duahsyat!) dan yang jelas happy.

Tapi, di balik itu ternyata Bill memiliki cerita yang kurang happy. Dia pernah menikah dengan wanita Russia yang memberinya 2 anak. Sekarang mereka bercerai dan jerih payah Bill membangun rumah, beli kendaraan akhirnya dinikmati istri dan anak-anaknya. Menyesalkah Bill?

Tidak! Ada satu semangat yang sangat khas dari seorang Bill bahwa dia tidak menyesal dengan semua yang terjadi. Hidup harus dijalani ... ya sudah.

Satu yang sangat saya kagumi dari Bill bahwa siapapun penumpang cowok yang naik ... mengucapkan terima kasih atau tidak pas mereka turun ... Bill pasti dengan senyum membalas ... you too, Sir ... have a good day Sir ... have a good weekend Sir .....

Tidak pernah sesaatpun saya melihat Bill bersedih atau menunjukkan raut muka masam ... selalu gembira. Padahal sekarang Bill ngambil kuliah di Law ... jadi kalo pagi/siang kuliah ... kalo malam nyupir bis kampus ... pasti sangat capek, tapi Bill kelihatan sangat enjoy.

Bill tertarik ngambil hukum karena beberapa kali kecolongan masalah hukum (mungkin kejadian dengan mantan istrinya masih juga membekas). Juga pernah temannya kena kasus dengan developer ... jadi Bill tertarik untuk mendalami hukum yang berkaitan dengan property. Whatta smart people! Mengingat di Laramie lagi giat-giatnya membangun.

Jarang saya bertemu dengan orang seperti Bill, tulus, melayani, riang (jika penumpangnya nggak ada yang senyum karena mungkin udah capek, Bill akan bergurau bahwa bis ini tidak akan jalan kalo tidak ada yang senyum lho .... jadilah semua penumpang -walo terpaksa- akhirnya tersenyum) dan memiliki komitmen kepada profesinya. Meski Bill hanyalah seorang veteran dan sekarang menjadi sopir bus kampus (sesuatu yang tidak worthy untuk kondisi di Indonesia) namun Bill memiliki kualitas yang melebihi "hanya seorang sopir". Bill mendedikasikan diri pada pekerjaannya dengan sepenuh hati ... memberi inspirasi kebaikan kepada orang lain ... menceriakan jiwa yang lelah ... dan mengantar para penumpangnya dengan selamat.

Terima kasih Bill, engkau telah setia mengantar kami dari kampus ke apartemen pergi-pulang dengan selamat plus bonus keceriaan lagu dan senyum sapamu. Lebih dari itu engkau telah memberikan inspirasi sebuah keteladanan pribadi yang menakjubkan ... yang layak ditiru oleh siapapun yang mendedikasikan hidupnya kepada kemanusiaan.

Sandiwara hidup

Alhamdulillah ....

Beberapa hari ini sering diskusi dengan teman soal sandiwara ... he, whatta suspicious!

Ada orang bilang hidup ini seperti panggung sandiwara, itu artinya kita harus jadi aktor/aktris yang lihai, mampu memainkan perannya di panggung itu dengan sebaik-baiknya. Yang penting adalah bagaimana kita mendapatkan apresiasi dari penonton tanpa kita harus peduli dengan sesama aktor/aktris satu panggung. Kalo kita harus nendang ... kenapa kita harus ragu? Urusan sakit (fisik dan hati) kan urusan yang ditendang ... kita mah happy aja yang penting penonton senang. Walah ...

Kalau ada orang berpikir bahwa hidup adalah panggung sandiwara, itu sah-sah saja ... tapi derajat kesahihannya turun manakala aktor/aktris tadi bermain untuk kepentingan dia, kepentingan untuk mendapatkan pujian dari penonton, mendapatkan previlege yang tentunya dengan mengorbankan teman sepanggungnya. Entah dengan membohongi, menyakiti secara fisik, menistakan ... kayaknya spesies homo sapiens sangat ahli deh untuk urusan kayak gini he ...

Mereka dalam berhubungan dengan orang lain based on interest, "ya kalo aku ada perlu aja deh aku baik-baikin kamu .... kalo nggak ada ya ngapain lah ... malah kalo perlu tak tendang sisan kamu, hey ..."

Seorang teman pernah ngasih tahu juga tipe orang kayak gini itu lihai memainkan jurus KATAK, sikut kanan-kiri, sepak bawah, jilat atas .... wuiiiih (kata seorang temenku yang namanya harus dirahasiakan, menjilat itu nggak enak! enakan dijilat hey...), berhasil deh!

Model kerja ginian nggak jarang ditemui di kantoran pemerintah atawa swasta, soalnya basis kenaikan jenjang, pangkat yang berkorelasi dengan penghasilan bukan pada otak atau kemampuan, tapi bagaimana bisa menyenangkan hati atasannya. Soal kawan, "sorry men ... gue duluan yah!"

Walhasil yang namanya sentimen dan konflik di tempat kerja bukan masalah bagaimana menyelesaikan sebuah pekerjaan tapi bagaimana supaya saya bisa meraih posisi yang lebih baik dan mendahului teman-teman saya ... dengan cara apapun. Bohong ke atasan, main fitnah, fait accompli, menjerumuskan teman, membatasi akses orang lain dan menggunakannya untuk kepetingan sendiri/monopoli informasi ... itu yang namanya politik kantor. Dan sudah tentu ini bagian dari skenario sandiwara ...

Jadi miris juga ya, apa dunia sudah sedemikian ruwet?

Kita ngaku orang beragama, ke masjid, gereja, pura, klenteng, sinagog ... tapi kita masih saja suka berbohong ... bersuka cita melihat kegagalan orang lain, korupsi ... bersandiwara, berpura-pura ... munafik ... egois ... seolah lupa bahwa setiap waktu kita memohon kepada Tuhan dengan berlinang airmata ... mengaku kecil, pasrah, tidak berdaya ... namun di balik itu berlaku nista kepada sesama.

Yang saya inget, sejak kecil dulu mbah putri selalu ngasih pesen ...

Uripo sing jujur, marang awakmu dhewe lan sapada ...

hiduplah dengan jujur, terhadap dirimu dan sesama manusia

Gusti Allah iku tansah mriksani opo sing kok lakokake ...

Tuhan selalu melihat perbuatan kita

malaikat ing kiwo-tengenmu tansah nyateti amalmu ...

Malaikat di kiri-kanan kita selalu mencatat amal kita

Sing akeh olehe syukur ... supoyo kowe bisa ngerteni sejatining urip.

Banyaklah bersyukur ... itulah jalan untuk memahami kehidupan yang sejati.

Memang nggak gampang njalanin seperti itu ... yang namanya nafsu kadang-kadang kan muncul juga dalam bentuk egois, ketidakpedulian (bentuk defensif he ...) atau bohong dan semacamnya (bentuk offensif) ... halah ...
Anyway, kita memang manusia kan ? Tempatnya salah dan lupa ... tapi bukannya sebaik-baik manusia adalah manusia yang mau belajar dari kesalahannya, minta maaf dan tidak mengulanginya lagi ... serta mau belajar untuk tidak lupa dan melakukan lebih baik lagi?

Pilihan ada di tangan kita kan ? Tetap semangat!


Monday, March 17, 2008

Sabar

Sabar itu sangat gampang untuk diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Sabar ketika mendapat ujian, kesulitan atau mendapat sesuatu yang tidak disenangi. Beli barang ... e ndilalah spesifikasinya ada yang kurang, janjian sama teman ... e lha kok lupa atau molor waktunya, berharap semuanya on time ... e ada technical fault sehingga apa yang kita inginkan tidak segera terlaksana. Semua itu butuh pemahaman dan refleksi tindakan positif berupa kesabaran. Mungkin perspektif orang melihat sabar berbeda ... sabar itu ya kalo kejadian trus nggak sesuai dengan keinginan .. atau sabar itu ya harus mau nunggu sampe suatu urusan kelar ... atau sabar itu kita menerima apa yang terjadi ... sesuai atau tidak sesuai dengan keinginan kita ... atau yang simpel, sabar ki rasah cerewet ...Ups!

Setiap orang punya persepsi yang harus kita hormati, namun yang paling penting adalah persepsi tersebut direalisasikan dalam tindakan yang positif ... tidak cuma sabar di lisan saja, diperbicangkan saja tanpa pernah merealisasikan apa realitas kesabaran itu.

Orang pinter dikenal karena pengetahuannya, pemahamannya, penerangannya atau perkataannya, namun orang bijak menambahkan satu hal yakni dengan PERBUATANNYA!

Semoga kesabaran kita memberi hikmah atas semua yang terjadi ... sabar ... sabar ... dan sabar dalam menghadapi realitas hidup yang beraneka rupa.

Salam Sabar!!

Sunday, March 16, 2008

What a nice America ...

Beberapa hari ini banyak bertemu orang baik, wartawan atau juga teman baru yang dari Amrik ..

Anyway, ternyata mereka baik banget .. ramah, hangat dan ringan tangan alias selalu mau menolong. Kalo udah kenal .. akrab ..waaah, baik banget. Beda banget dengan gambaran di film-film atau media yang sampe di Indonesia. Kayaknya media terlalu bias dalam mencitrakan atau membuat potret tentang American Society.

Weekend dipake buat ke yard/garage sale .. beli baju hangat, atau apa saja kebutuhan di apartemen ... memang sih udah seken atau used .. tapi barangnya masih bagus dan harganya supermurah .. kalo beruntung malah diberikan begitu saja .. apalagi kalo tahu kita memang butuh .. whatta generous people!

Kemarin pas abis dari International Office ketemu seorang bapak yang cukup sepuh dan gendut, kami sama-sama mau naik lift. Saya masuk duluan dan menanyakan mau ke lantai berapa Pak? Ternyata lantai yang sama trus saya pencet angkanya .. begitu nyampe beliau tersenyum, menyilakan saya keluar duluan sambil bilang terima kasih trus disambung ... seharusnya saya yang melayani Anda, bukan Anda melayani saya karena tugas saya di sini adalah melayani mahasiswa ... O lala .. dan beliau pake baju seragam yang di lengan kirinya ada badge UW ... ya Allah .. betapa rendah hatinya ..

Sopir bis kampus juga begitu, walau mereka hanya mondar-mandir pada jarak 5 kilometer .. tapi nggak pernah saya lihat wajah cemberut .. mereka selalu bersemangat meski mahasiswa yang turun kadang tidak ada yang bilang thank you .. kalo ada, pasti mereka akan lebih bersemangat lagi dan membalas Have a good day! Pernah juga mereka tetap menunggu karena saya harus berlari-lari ke halte seusai mengurus kunci di apartmen office ... mereka tetap tersenyum dan menyapa hangat How are you?

Ternyata benar .. jangan menilai sebuah buku dari sampulnya saja ..

Seandainya manusia di dunia berusaha seperti itu .. betapa indahnya dunia kita ..

Anyway, kebaikan apa yang sudah kita lakukan hari ini ?

Saturday, March 15, 2008

Mas-masku ...



Hari ini ada kesempatan jalan bareng ke Cheyenne ... ibukota Wyoming State bareng sama mas Winoto+mbak Nina, bang Victor+mbak Vina+Jonatan, mas David, Khairu, Wija dan Fahmi ... padahal asli jik ngantuk dan kita cuma punya waktu 15 menit dari jam 11.45 AM, akhire yo ra adus hehehe ...
Jalan ke Cheyenne beda banget sama jalan ke Fort Collins -rute rutin ke Denver-, lebih sepi, sempit ... tapi jalannya kanan-kiri penuh dengan pemandangan yang elok .. Jare Wija akeh wong ngepeni uyah ... emange Rembang? wong salju sing nglumpuk kok ..
Tujuan kita pertama jelas warung makan, tapi jangan harap warung tegal atau warung padang, mas Win dan mbak Nina langsung membawa kita ke Twin Dragon, sebuah restoran China di downtown-nya Cheyenne. Memang selama di Amerika, masakan yang familiar ya masakan China, seperti New Mandarin di Laramie atau satu lagi deket H-Mart di Parker Road Denver. Dengan model buffet kita hanya merogoh maksimal 10 dolar untuk menikmati masakan yang tersaji sepuasnya, termasuk salad dan ice cream. Tapi sebelum masuk baca bismillah sama istighfar sebanyak-banyaknya ...
Twin Dragon ada di 1809 Carey Avenue, pas kami masuk kami harus nunggu karena emang lagi sibuk (jam buffet biasanya padet, 11 sampe 2 siang), dan hal yang mengejutkan adalah .... hampir semua pelayannya adalah orang Indonesia! Walamaaaaak ....
Kulo saking Suroboyo, Malang, Menado .... sugeng rawuh ...
Whe lha ...
Jadilah kita seperti pelanggan kehormatan, dilayani dengan sepenuh hati ... sambil sesekali mereka ngobrol ... nanya asal, guyon soal onde-onde, ayam goreng kalasan sampe es grim ... es-nya arek suroboyo hehehe .. Ternyata kebanyakan mereka sudah lama ada di sini .. dan berangkat melalui PJTKI. Masya Allah .. demi keluarga mereka harus bekerja di tempat yang sangat jauh ini ... (inget ya, uang yang kita dapat dari ortu kita itu bukan dari sablonan mereka ... tapi dengan pengorbanan dan jerih payah mereka bekerja ... seperti mas-mas ini, jauh dari Indonesia buat kerja di Cheyenne ... the US).
Selama ngobrol dengan mereka ya rasanya seneng ... saya sempet was-was kalo juragan mereka marah, tapi alhamdulillah baik-baik saja ...
Saat yang menyedihkan tentu saat berpisah .. kami harus melanjutkan perjalanan dan mereka harus kembali bekerja ... sempet juga saya mengambil foto mereka dengan janji untuk saya kirim via e-mail. Mas-mas itu kemudian memberi sangu kita 6 buah sambel (wuiiih, kebayang enaknya) sama dua doos cookies, untuk di perjalanan katanya ...
Saya jabat tangan mereka satu-satu dengan erat sambil berdoa, semoga waras, slamet, seger, sumyah, tentren ayem ... menyemangati mereka untuk tetap optimis dalam bekerja meski jauh dari keluarga ... dan mereka kembali bekerja.
Malam ini saya kirim foto-foto itu via email dan mas Winardi membalasnya (Ya Allah ... sampek lupa kenalan sopo wae jenenge ....).
Suwun-suwun ... dan mendoakan semoga sekolah kami lancar .. cepet lulus ... pulang jadi mentri .. tapi jangan lupa sama mereka .. orang kecil, tulisnya.
Ada keharuan yang begitu menyesak di dada membaca sebuah pesan yang jujur itu. Kurang opo tho Indonesia ... kok sampe mas-mas itu harus jauh bekerja? Meninggalkan keluarga dan orang-orang tercinta ..
Hati saya makin sesak ketika dalam perjalanan kami berdiskusi tentang perilaku pejabat birokrasi kita yang bikin negeri Indonesia ini acakadut ... kerakusan dan ke-egoisan mereka membuat jutaan anak bangsa ini harus menderita. Menjual minyak, tambang, lisensi monopoli kepada perusahaan asing dengan harga murah plus komisi pribadi, namun tidak peduli kepada jutaan warga lain yang butuh dan tidak mampu mendapatkannya.
Mas-masku ... sampeyan semua adalah pahlawan keluarga .. semoga Allah Ta'ala melimpahi dengan kesehatan dan semangat untuk bekerja di negeri orang meski jauh dari keluarga. Dan semoga sampeyan semua dapat mencapai cita-cita untuk hidup terhormat dan bermartabat di tanah air kita ... kelak ...



Friday, March 7, 2008

Logika sosial kita

Hari terakhir ini banyak musibah yang terjadi, mulai kematian karena kelaparan, antre minyak tanah, dirampok, meninggal di rumah sakit karena nggak mampu menunjukkan surat keterangan miskin (miskin saja kok masih harus pake surat ...). Bangsa yang aneh ...
Peristiwa terakhir ini sangat menyesakkan, seorang istri meninggal karena asma akut dan sedang hamil tua di sebuah rumah sakit pemerintah di Purwokerto sementara suaminya kebingungan mencari surat keterangan miskin. Sudah miskin kok ndadak pake surat keterangan gitu lho ... apa dari KTP nggak kelihatan ... ? Hehehe ...
Coba membandingkan dengan pelayanan kesehatan di Amerika jelas jauh, tapi ada satu hal yang menurut saya patut kita tiru. Suatu malam saya main badminton di Gym ... e ndilalah ada seorang teman yang kesampluk raket (pas lagi main ganda, jadi hati-hati yang suka main ganda, mesti jaga jarak!) dahinya sampe berdarah-darah (mungkin ada yang sobek), seketika itu juga kami membawanya ke emergency room alias instalasi gawat darurat ....
Begitu kami datang, temen saya yang kesampluk raket tadi nggak ditanyai apa-apa selain nama dan alamat ... habis itu mak bledeng masuk kamar operasi ... kami yang di luar diayem-ayem sama paramedisnya, nggak papa cuma sobek sedikit ... sebentar juga kelar ... Sebentar? Nggak juga, kami harus menunggu selama 2 jam ... gak tahu di dalam diapain, tapi kata temen saya ... setelah dilihat lukanya nggak berbahaya, ya diobservasi dulu ada dampak yang lain nggak ... katanya juga sempet di rontgen segala .... Dua jam keluar wajahnya tidak sestres saat masuk ... lukanya nggak dijahit cuma dilem doang ... padahal kalo dijahit mungkin butuh minimal 4 'kali ya ... wong darahnya sejak dari gym sampe ER ngocor terus sampe handuknya belepotan darah. Udah selesai gitu ... eh langsung pulang, dahi udah dilem dikasih obat pula ... trus dibiarin pulang ...lho? bayarnya?
Tenang aja, bayarnya nanti-nanti ... ditagihkan ... kan punya asuransi ...
Saya heran, teman saya langsung di-treatment karena dia mahasiswa, bukan warganegara AS atau karena punya asuransi? Selidik punya selidik .. punya asuransi atau nggak bukan sebuah masalah, kalo kita nggak mampu kita bisa ngurus suratnya, tapi treatment alias tindakan bisa dilakukan dulu .... yang penting si orang ini bisa nggak kelamaan menderita ...
Lha di kita? dilihat dulu kalo pasiennya kelihatan nggak mampu ya dikatung-katung dulu (pengalaman saya di RS yang sama dengan ibu hamil-asma-miskin meninggal nggak beda .... karena kecelakaan saya dibawa ke RS tersebut tapi dibiarin selama beberapa jam ...), suruh nyari jaminan lah, surat keterangan lah ... nggak langsung di-treatment ... jadi sakitnya bakal tambah laaamaaaaaaa .....
Kok bisa ya? Apa paramedis itu lupa sama sumpahnya untuk menolong orang karena kemanusiaan, bukan karena asuransi, surat keterangan miskin atau dompet tebel pasiennya .... yang penting kan si pasien selamat dulu ....Eh, katanya juga ada Asuransi Kesehatan Miskin(ASKESKIN) tapi praktiknya sama saja ... nyari surat keterangan miskin lah ... emang pemegang KARTU ASKESKIN itu sebangsa AS si ibu yang mau-maunya ngasih uang 6 milyar ke orang yang katanya nggak dikenal (?), please deh .... Bukannya KARTU AKSESKIN itu saja sudah menunjukkan kalo dia miskin? Kalo nggak percaya kenapa nggak dari rumah sakit aja yang datang ke rumah, ngeliat rumahnya kayak apa ... menaksir harta kekayaannya seberapa hehehehe ...
Negeri yang aneh .. orang miskin ... sudah miskin kok masih dipersulit ... gimana pada mau masuk sorga hehehehe ....
Sudah tahu mayoritas orang Indonesia miskin, dapet kartu asuransi kesehatan miskin ... eeee masih ditanya apa sampeyan bener-bener miskin? Di mana logika sosial kita? Apakah miskin ini sebuah status yang harus dijelaskan secara hitam putih? Jika ya .. apa kriterianya? Lihatlah ... miskin di Indonesia ada beberapa versi lho ... versi BPS, BAPPENAS, BKKBN, DINSOS ... dan semua definisi ga ada yang sama ... Kalo diibaratkan perang, mendefinisikan dan mengidentifikasikan musuh saja nggak jelas gimana mau menang perangnya?
Sudah miskin, punya kartu miskin, masih disuruh ngaku dan mbuktiin kalo memang bener-bener miskin ...
Capeeeeee deeech ....

Saturday, March 1, 2008

Sudahkah kita peduli?


Membaca artikel di detik.com kemarin, tentang seorang ibu hamil yang meninggal bersama janinnya, yang disusul anak bungsunya yang berumur 5 tahun karena diare akut dan kelaparan, tidak mampu membeli beras, membuat saya merasa nelangsa dan meneteskan air mata. Betapa Indonesiaku yang kaya raya tidak mampu berbuat banyak terhadap rakyatnya yang (masih banyak) miskin papa. Kejadian di Makasar itu menyisakan pertanyaan bagi saya, sejauh mana demokrasi (lokal) yang digembar-gemborkan akan meningkatkan kualitas kesejahteraan rakyatnya? Ibu itu (semoga Allah Ta'ala memberikan ganjaran surga atas kemiskinan dan penderitaannya), harus hidup dengan menyewa petak rumah yang atas kebaikan hati pemiliknya dibebaskan dari biaya sewa. Suaminya hanya seorang buruh dan harus menghidupi 4 anaknya. Si ibu tengah hamil sehingga tidak bisa bekerja membantu pendapatan rumah tangga. Kadang ia membeli beras 1 liter untuk 3 hari dengan dimasak menjadi bubur, tanpa lauk dan asupan gizi yang lain. Ia enggan untuk sekedar berhutang di warung dan lebih mementingkan uang dari suaminya meski sedikit. 1 liter beras untuk 6 jiwa selama 3 hari, di Indonesia kita? TRAGIS!
Sebelumnya ada berita juga seorang anak yang mati bunuh diri di Madiun karena sakit maag akut ... dan miskin! Ia nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri lantaran tidak tahan dengan penyakit maag-nya (karena jarang makan) dan kemiskinannya (ibunya katanya bekerja di Sumatera, meninggalkan ia sejak kecil dan tidak pernah mengirim uang atau kabar, bapaknya buruh tani yang diperas tenaganya sejak pagi buta sampai senja dengan hasil yang tak seberapa).
Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini?
Kita tidak bisa menyalahkan kemiskinan atau kemalasan mereka karena pada dasarnya mereka hidup pada sebuah sistem yang digerakkan oleh mereka-mereka yang memiliki otoritas (baca: POLITISI dan BIROKRAT!). Bagi saya mereka ini yang patut bertanggung jawab atas semua kejadian ini ... yang menunjukkan bagaimana tidak becusnya mereka mengelola sistem .. mengelola negara ini!
Di mana janji-janji kampanye yang pernah berbuih busa dilontarkan? Di mana sumpah jabatan ... DEMI ALLAH ... yang mereka semua ucapkan saat menjelang memangku otoritas publik?
Banyak di antara teman saya yang cengengesan ketika melakukan sumpah jabatan ... banyak juga pendahulu saya yang bercerita aneka rupa trik saat mengucapkan sumpah itu ... bagi saya semua itu sungguh mengenaskan. Orang-orang terpilih untuk menjadi abdi negara dan masyarakat , baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, banyak juga yang menganggap enteng amanah ini. Seolah sumpah jabatan hanya formalitas .. toh sistem kita selama ini juga begini, nggak perlu menjadi idealis atau sok pahlawan!
Apa yang bisa kita harapkan dari mental (penjabat) seperti ini?
Kadang kita nggak boleh bergantung 100 % kepada para penjabat kita. Kita, sebagai sistem kecil dalam masyarakat mesti mampu berswadaya sendiri. Caranya ya kita PEDULI dengan lingkungan kita, menghidupkan nadi terkecil mulai dari RT dengan kegiatan-kegiatan yang produktif. Juga peduli kalo ada tetangga yang kekurangan ... coba kalo satu RT saling peduli .. mau bantu yang lemah/kurang, bisa jadi contoh di RW, menjalar ke RW lain ... bisa jadi contoh sebuah keswadayaan komunitas. Insya Allah nggak akan ada lagi orang yang mati karena kelaparan sebab semua orang peduli dengan sesamanya satu sama lain. Ajaran agama manapun juga mengharuskan kita menyisihkan sebagian penghasilannya untuk orang lain, ya untuk keperluan semacam ini misalnya.
Jika kita peduli ... atau paling tidak mau memulai untuk peduli .. akan banyak permasalahan bangsa ini bisa kita selesaikan, dimulai dengan kepedulian kecil kepada sesama di sekitar kita.
Sudahkah kita peduli?