Saturday, January 19, 2008

Sumeleh

Sumeleh .... wekekekekek (ketawa ala chatting).
Yang jelas sumeleh bukan nama orang apalagi nama mantan ... mantan guru, temen, atau mantan presiden hehehe ...

Sebagai wong Jawa ada sedikit keberuntungan /luck berkaitan dengan apa yang disebut dengan roso-pangroso alias bagaimana merasakan kehidupan melalui hati, mata batin. Banyak orang bilang ... durung Jowo, ora Jowo ... ya karena belum bisa melihat dan merasakan dengan mata hati. Bener atau salah nggak tahu ya .. wong saya juga cuma nglakoni.

Yang jelas Jawa itu kaya dengan nilai-nilai hidup yang luar biasa, bagaimana kita menyeimbangkan antara jagat gedhe dan cilik, alam semesta dengan alam kita sebagai pribadi yang memang harus selaras .. harmonis , karena dipercaya masing-masing memiliki kekhasan dan keterkaitan. Bagi orang Barat yang lebih suka menggunakan akalnya maka fenomena bencana, gunung meletus, banjir, tsunami, gempa dan lain sebagainya disebabkan oleh sesuatu yang bisa dijelaskan secara ilmiah dan gamblang, misalnya karena tekanan lava, ketidakseimbangan daya tangkap air, lingkungan yang buruk, pergeseran bebatuan bumi di bawah laut ... tapi bagi orang Jawa mesti ada pertanda dan fenomena alam yang terjadi. Biasanya berkait dengan kuasa Tuhan, Gusti Kang Agawe Jagad, kekuasaan, wahyu ... bukan semata gejala alam biasa tapi ada hal yang merupakan sebab-akibat.

Inilah yang menjelaskan mengapa orang Jawa sangat fanatik dengan apa yang dinamakan dengan tanda-tanda alam, setiap kejadian biasanya merupakan tetenger akan terjadinya sesuatu. Kebetulan sekarang mantan presiden Suharto sedang tergolek lemah karena sakit bahkan sedang pada kondisi kritis. Fenomena alam seperti longsornya lereng Gunung Lawu dimaknai sebagai tanda akan segera berakhirnya kehidupan seorang Suharto mengingat Pak Harto pernah mendapatkan gegaman atau pusaka pegangan dari Gunug Lawu. Wallahu'alam.

Sumeleh adalah sikap tawakal yang diambil oleh orang Jawa menghadapi kehidupan ini. Pasrah dan tawakal setelah berupaya dengan menyerahkan semuanya termasuk hasilnya kepada Tuhan. Ini dibarengi dengan sikap positif mengantisipasi kehidupan seperti sabar, ikhlas dan menerima dengan lapang dada. Jadi dalam menghadapi hidup ini tidak nggoyo, jeaolous, iri hati ... melihat teman atau tetangga, saudara mendapat kesenangan, keberhasilan atau membeli barang baru ... dapat rejeki .. kita tidak ikut kemrungsung dan panas hati karena yakin akan kuasa Gusti Allah sebab orang sudah mendapatkan jatahnya masing-masing. Mau orang lain kaya dari hasil usaha atau korupsi kita tidak bingung karena yakin jatah rejeki kita sudah ada dan diatur dengan sangat adilnya.

Yo wes sumeleh wae ... sabar ... amargo gusti ora sare ..

(Tawakal saja, sabar ... karena Tuhan selalu melihat kita).

Friday, January 18, 2008

Proses dan Progres

Ada satu kemajuan yang saya dapat selain soal akademis di University of Wyoming , Laramie. Sejak minggu pertama saya sudah nekat memutuskan untuk bergabung dengan klub badminton dan secara rutin bermain di Half Acre alias gym-nya universitas setiap Jum'at pukul 6 sore sampai 10 malam. Kebetulan presiden klub badmintonnya juga orang Indonesia, memfasilitasi raket, shuttlecock dan lain sebagainya. Di Laramie yang dingin ini olahraga sangat penting untuk menjaga tekanan darah agar tetap stabil, sehat lahir dan batin. Yang jelas bisa gerak dan keluar keringat sudah luar biasa buat saya. Sesekali juga pelepasan stress karena sering berkutat dengan monitor komputer dan buku.

Pertama kali main rasanya kaya orang bloon. Maklum sudah sejak lama nggak main badminton secara serius ... sekedar ngumpul sama bapak-bapak satu RT ... Jadilah bulan-bulanan mereka yang sudah mahir ... cuma mereka juga memahami kondisi saya ... It's OK, just need more practices ... hehehe ... Belum lagi soal udara yang sangat tipis di sini, pertama kali datang main 1 set saja ngos-ngosan ... Cuma ya itu, inget peribahasa dari temen ... lungo Klaten tuku pecel ... yen tlaten mesti kecekel ... artinya kurang lebih pergi ke Klaten membeli pecel ... jika kita rajin pasti akan tercapai/teraih ...

Alhamdulillah setelah kira-kira empat bulan mulai ada kemajuan, mulai serve, positioning, smash ... trick he ... lumayan tidak mengecewakan. Dulu kalo main kalah melulu sekarang lumayan bisa menang he. Satu yang saya pelajari ya tentang progres, kemajuan ... dari nggak bisa menjadi bisa ... lumayan tidak mengecewakan. Memang semua perlu proses, seperti esensi belajar ... sedikit-demi sedikit ... akhirnya kita paham, mengerti dan bisa. Itulah makanya pentingnya belajar, sekolah .. membuat kita bisa dan paham dengan melewati proses, bukan sesuatu yang instan atau yang sekali jadi.

Manusia hidup perlu proses agar bisa mencapai apa yang dinamakan progres. Kedewasaan, kekayaan, pangkat, jabatan, kepandaian ... apapun pencapaian di dunia ini akan menjadi sangat bermakna jika dilewati melalui proses . Sesuatu yang dicapai secara instan biasanya nggak bakalan bertahan lama, banyak kelemahannya karena memang kebanyakan polesan semata, beda dengan proses yang biasanya lebih kekal karena ada nilai yang terinternalisasi. Kita bisa karena sesuatu itu melekat pada diri kita akibat proses yang berlangsung secara kontinyu. Fenomena ini menguatkan saya tentang motivasi belajar, lebih-lebih semester ini lebih banyak tugas nulis dan juga persiapan thesis. Semoga saya memiliki keteguhan untuk menjalani semua proses ini ... guna menjadi seorang Ghulam yang berprogres dan lebih baik.

Ayo belajar ... ayo berproses .. agar berprogres ... dan sukses!

Terima kasih buat Mas Winoto dan Mbak Nina yang telah mengenalkan proses dan progres melalui badminton.

Saturday, January 12, 2008

Hijrah atau migrasi

Tetenger jaman

Wadone pamer aurat, lanange ngumbar syahwat, sing laris jamu kuwat.
Wong gedhe seneng maksiat, wong cilik sangsaya nekat.
Rina wengi keprungu sesambat, merga akeh wong mlarat, uripe kesrakat, ora kuwat ngingoni brayat, batur mburi ora kerumat.
Usum ketiga kaline asat, usum rendheng ngelebi jagat.
Lindhu kaliwat-liwat, samudra munggah darat.
Eling-elinga sira manungsa, mung bakal slamet yen jagat diruwat, padha sregep sholat, salawat lan munajat, Pangeran bakal paring rahmat."

Gayeng Semarang, Eko Budihardjo, Suara Merdeka 12 Januari 2008


Lucu, miris, putus asa ... apapun perasaan kita melihat isi dari cuplikan Serat Kudrat kiriman kolega Prof. Eko Budihardjo, mantan rektor UNDIP, seniman, budayawan dan juga arsitek ... menggugah nurani dan kesadaran kita sebagai manusia (yang masih merasa dan memilikinya) akan fenomena alam yang bertautan dengan perilaku manusia.

Gejala alam yang beraneka rupa dan banyak menimbulkan kerugian bagi manusia sebenarnya merupakan tanda alam bagi mereka yang bijak dalam membaca dan menanggapinya. Mereka yang waskita, masih memiliki naluri kemanusiaannya. Bahwa hal ini merefleksikan ketidakseimbangan alam yang disebabkan oleh perilaku manusia. Mereka yang selama ini bisanya hanya mengandalkan akal saja jelas akan menolak hal ini tapi mereka yang juga berpegang kepada akal dan hati akan melihat dengan lebih jauh ... alam memberikan akibat atas perbuatan manusia.


Ada sebuah ilustrasi menarik mengenai hal ini , jika seseorang pergi ke bibir jurang atau lembah dan kemudian ia meneriakkan kata yang kotor ... maka beberapa detik kemudian kata itu akan kembali kepada si pengucap. Sama halnya dengan kata yang baik, itu artinya alam hanyalah media yang memberikan respon atas perilaku manusia itu sendiri. Perilaku baik akan direspon dengan baik , begitu pula sebaliknya. Alam hanya memberikan apa yang kita berikan , baik kembali baik, buruk kembali buruk juga.

Namun banyak manusia tidak menyadari hal yang sebenarnya sepele ini. Jika kita perhatikan cerita para leluhur kita yang sangat arif dalam berperilaku dan mengelola alam, maka kita akan mendengar dan menjumpai alam yang masih bersahabat dengan mereka ... air melimpah, udara sejuk, musim yang masih dapat diprediksi dan tanaman yang memberikan hasil serta kesejahteraan yang cukup. Semua itu sangat berbeda jauh dengan kondisi sekarang ... air semakin tahun semakin sedikit debitnya, bahkan harga air sangatlah mahal di beberapa tempat, udara menjadi kian panas ... kata orang ada fenomena yang disebut global warming yang juga berdampak kepada musim yang tidak lagi dapat diprediksi. Musim tanam, pelihara dan panen menjadi semakin kacau karena hujan dan panas tidak lagi merata sepanjang tahun. Beberapa tempat yang jika kemarau kekeringan dan kekurangan air pada musim penghujan berbalik berlimpah air alias kebanjiran. Tanaman makin aneh, makin banyak penyakit ... obat temuan manusia tidak ada artinya sama sekali ... malahan penyakit tanaman semakin ganas .. hasilnya tanaman tidak lagi menjadi sumber penghidupan dan kesejahteraan manusia.

Wahai saudaraku ... apa yang harus kita lakukan?

Tidak ada alternatif lain selain kita harus bermigrasi atau berhijrah ... merubah dari yang buruk, merugikan seperti ketidakpedulian, ketidakjujuran, ketamakan dan keburukan pekerti pribadi yang berakibat pada sesama mahluk termasuk alam, menjadi baik ... perilaku yang PEDULI, JUJUR, MURAH HATI dan BUDI PEKERTI LUHUR .. kepada siapapun termasuk kepada alam. Hijrah dengan perbaikan sifat ini adalah sesuatu yang fundamental dan signifikan untuk memperbaiki krisis di manapun itu berada baik yang di level negara maupun pribadi. Saya sangat yakin, jika kita menafikan dan makin tidak peduli dengan hati kita bahkan melestarikan perilaku yang semakin menghebat ini maka dapat dipastikan bahwa kerusakan akan semakin parah, ya manusianya ya alamnya. Coba saja he ...



Friday, January 11, 2008

Kejamnya internet

Saudaraku, berapa lama setiap hari kita njingleng atau terpaku di depan PC, laptop hanya karena akses internet? 1, 2 atau bahkan sampai 10 jam? Ataukah kita menghabiskan seluruh waktu kita hanya untuk internet, bahkan bagi saudara yang muslim sampai lupa kewajiban sholat dan juga kewajiban-kewajiban lain sebagai individu atas keluarga, lingkungan dan masyarakat?
Stephen Juan, Ph.D seorang antropolog di University of Sydney menemukan hal yang menarik mengenai apa yang dinamakan dengan Internet Addiction Disoder (IAD) alias kecanduan internet. Keseringan menghabiskan waktu di depan internet akan membuat seseorang menjadi tidak produktif karena lupa akan waktu. Ketika ia sudah asyik dengan internet ia akan lupa bahwa jarum jam tidak menjadi pelan atau malah berhenti, tetap saja berputar seperti adatnya. Artinya, waktu terus saja berjalan sementara seseorang menjadi asyik dengan sesuatu yang melenakan yang bernama internet. Beberapa hal menarik yang ditemukan Stephen Juan Ph.D berkaitan dengan kecanduan internet antara lain adalah :
  1. Selalu ingin menghabiskan waktu di depan internet sehingga menguras waktu efektif yang ada.
  2. Jika tidak menggunakan internet muncul tanda-tanda penarikan diri seperti resah, gelisah, cemas, mudah tersinggung, gerakan mengetik tanpa sadar bahkan menjadi berkhayal tentang internet.
  3. Jika sudah menemukan internet, gejala-gejala penarikan diri akan segera hilang.
  4. Waktu mengakses internet lebih lama dari yang diniatkan.
  5. Banyak aktifitas untuk chatting, browsing dan e-mail, sekarang marak juga soal blogs, facebook, friendster, flickr ...
  6. Mengurangi kegiatan lain termasuk sosial/berinteraksi dengan orang lain hanya untuk berinternet.
  7. Hubungan sosial, pekerjaan dan pendidikan terancam terganggu karena massive-nya penggunaan internet (lupa waktu, posisi dan peran .. kadang juga lupa deadline hehehe...).
  8. Internet digunakan untuk melarikan diri dari perasaan bersalah, tak berdaya, kecemasan, atau depresi.
  9. Menyembunyikan penggunaan internet dari keluarga atau teman

sumber : www.cybermq.com

Banyak cerita betapa banyak orang tua yang kesal karena prestasi anaknya di sekolah sangat menurun. Selidik punya selidik ternyata si anak kecanduan apa yang dinamakan dengan game online sehingga waktu belajar menjadi berkurang, malah sibuk berkoneksi dengan teman-temannya untuk bermain game online. Untuk kasus ini, bisakah kita menyalahkan provider internet? Provider games? Jelas tidak, mereka pasti akan berdalih bahwa mereka hanya penyedian jasa saja .. terserah siapa yang mau makai dan datang, jikalau begini di mana tanggung jawab sosial sebuah perusahaan, lembaga yang kerjanya cari untung mlulu hehehe ...

Sebagai manusia kita selalu punya pilihan atas suatu hal ... termasuk internet. Apapun namanya jika sudah mengganggu aktifitas keseharian kita dan menimbulkan masalah dengan orang lain dan lingkungan maka itu adalah tidak baik bagi kita. Akses internet yang berlebihan (apapun juga ... makan, minum .. semua yang berlebihan) pastilah akan berdampak buruk terhadap seseorang, fisik dan mental akan terkuras, kepekaan sosial berkurang ... juga soal tanggung jawab karena merasa dirinya sudah cukup hidup dengan internet dan berkurang kepeduliannya atas orang lain dan lingkungan.

Jika sudah begini, kita jadi sadar .. segala sesuatu yang berlebihan termasuk internet akan menjadi sesuatu yang merugikan bagi kita. Menimbulkan dampak buruk dan kerugian waktu, tenaga, uang, kesehatan. Internet yang telah berubah memperbudak kita akan berubah pula dari sesuatu yang baik dan berguna menjadi sesuatu yang buruk, merugikan ... bahkan kejam karena tanpa sadar telah merenggut waktu kita yang dapat kita pakai untuk aktifitas yang lebih produktif dan bermanfaat bagi sesama.

So, berapa rata-rata waktu kita dalam sehari mengakses internet dan berapa pula rata-rata waktu kita bersosialisasi dengan orang lain ? Sudah produktifkah kita? Jawaban ada di tangan kita masing-masing lho ...

Semoga bermanfaat ...

Thursday, January 10, 2008

Aa Gym dan kejujuran

Syukur ... alhamdulillah ada teman yang berbaik hati meng-up load pengajian Aa Gym di youtube, semoga Allah Ta'ala memberikan ganjaran yang berlipat ganda atas upayanya menyebarluaskan nilai-nilai kebaikan.
Sejak berada di Amerika dengan fasilitas wireless yang bisa saya nikmati dari apartment, saya malah banyak bisa lebih belajar mendalami segala hal termasuk berkaitan dengan Islam. Jujur saja saya sempat merasa kehilangan Aa Gym pasca "pengadilan khalayak" atas poligaminya. Bagi saya, poligami itu urusan pribadi ... bukan urusan saya dan publik. Sama halnya kalo sampeyan mau buka situs porno, jajan atau sexual activities lainnya (bahwa sampeyan hyper, over, maniac, hermaphrodite, addict, homosexual ... whatever!) Mungkin ini terinfiltrasi pemikiran di sini yang cenderung liberal ya he ...
Secara jujur ... apa sih yang salah dengan poligami? Kenapa orang sampai begitu bencinya. Jika itu dipandang menyakiti dan menistakan perempuan .. ajak ngomong dong mereka pelaku poligami ... gimana Bu, Tan, Hajjah, madame, Cik, nyonya, nyai? ... Ekspose itu ke publik biar fair jangan cuma berbicara dengan asumsi. Nyatanya, dalam pandangan saya, istri-istri Aa Gym nggak ada yang merasa disakiti. Istri-istri Puspowardoyo juga tenang-tenang aja ngurus waralabanya yang makin maju dan berkembang. Ada apa sih dengan masyarakat kita, khususnya orang-orang pinter yang teriak-teriak tentang poligami tapi nggak tahu keluarganya kayak apa? hehehe .... Saya bukan simpatisan poligami cuma rasanya nggak adil saja memberikan vonis tanpa pandangan yang berimbang. Bukannya nikah itu hak asasi dan legal ketimbang serong, zina dan main belakang? hehehe ... Jangan-jangan jaman udah mulai kelipet-lipet .. yang ada dan jelas aturannya dipermasalahkan yang enggak ada aturannya dibiarin berlalu saja ... naudzubillah!
Kembali ke Aa Gym -tanpa wacana poligami-, bagi saya dia adalah pendakwah yang provokatif dalam arti positif. Setiap butir hikmah yang diucapkannya selalu dibarengi dengan contoh kecil, sederhana serta diakhiri dengan ajakan untuk melakukannya guna menyempurnakan perbuatan. Satu yang paling saya ingat (ada di youtube juga tentang ETIKA BISNIS DALAM ISLAM 1-9 dan Pengajian Istiqlal Nuzulul Qur'an jaman Mbak Mega jadi presiden) adalah bahwa di Indonesia haji banyak, pejabat banyak, pengusaha banyak, kyai banyak, da'i banyak, yang puasa banyak, yang sholat banyak yang jarang mah orang yang JUJUR! Kalau kita cermati inilah sebenarnya KRISIS yang permanen yang menyebabkan mengapa bangsa kita tidak pernah maju-maju. Kata si Aa', sulit mencari orang jujur di Indonesia meski kebanyakan penduduknya beragama Islam (ih ... jadi malu). Entah karena sistem, hobby, keturunan atau alasan lain yang dicari, tapi ini menunjukkan kelemahan manusia sebagai subyek yang bisa mengubah atau mengatur dan menciptakan sistem (obyek). Aneh kan ? Atau semua itu cuma alasan saja untuk menutupi ketidakberdayaan dan kenikmatan karena tidak jujurnya he ...
Padahal ketidakjujuran itu akan menimbulkan ketidakjujuran yang berantai di belakangnya untuk menutupi atau membuat alibi atas ketidakjujurannya ... lie after lie ... sin after sin .. disaster after disaster ... dan buntutnya adalah bencana, kerugian bagi orang banyak. Sebuah jembatan yang baru dibangun kurang dari setahun tiba-tiba runtuh ... menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa karena rusaknya kendaraan yang sedang melintas serta para nyawa para penumpang yang ada di dalamnya. Belum lagi kerugian ekonomi jangka panjang karena terputusnya akses karena runtuhnya jembatan itu. Selidik punya selidik .. spesifikasi jembatan tidak sesuai standar karena materialnya disunat ... dipotong oleh kontraktornya ... untuk apa? Untuk upeti pejabat, pelicin tender, keamanan, selamatan ... denger-denger sih ... anggaran 100 %, 15 % sudah disisihkan duluan buat ngamplopin si pemeriksa entar (duit darimana lagi kalo nggak motong dari proyek he .. apa mau iuran buat nyangoni si pemeriksa?). Jadilah 85 % persen nilai proyek riil ... dan berebutlah para kontraktor untuk memenangkan tender (tentunya dengan berbagai strategi .. suap, parcel, paket atau kadang intimidasi dan premanisme). Berapa nilai proyeknya, apa 85 %? Jelas nggak ... siapa lagi yang musti kebagian rejeki kalo bukan para bos pengambil keputusan yang tanda tangannya penting buat memutuskan setiap kebijakan. Kata Prof. Eko mantan rektor UNDIP yang lucu itu .. pernah bikin pantun sindiran ... banyak ruang .. banyak AC ... banyak uang ... banyak ACC ... hehehe ... Artinya, makin banyak tanda tangan atau ACC makin banyak tuh upeti yang masuk hehehe ... (wallahu'alam wong saya belum pernah jadi pejabat .. ini aja suara dari seorang pejabat). Katakan nilai proyek yang sampai ke kontraktor 60 % lantas berapa persen nilai riil proyek di lapangan dikurangi biaya upeti dan lobby untuk meloloskan tender ... keuntungan perusahaan ... ini itu ... jadi berapa dong? Paling banter 50 % dari nilai proyek yang dibiayai oleh APBD/APBN .. jadi intinya? Ya wajar aja banyak proyek yang gagal atau tidak berumur panjang. Lihatlah SD Inpres yang dibangun di era 1980-an atas hasil boom harga minyak dunia, bagaimana kondisinya sekarang? Masihkah ada yang nyaman untuk digunakan dalam proses belajar-mengajar? Masak kalah sama bangunan reservoir, jembatan sama gedung-gedung tua buatan jaman Belanda ...
Jembatan, sekolah atau proyek apapun menunjukkan bukti bahwa ketidakjujuran pasti akan terbuka di kemudian hari dengan bencana dan kerugian bagi banyak orang. Dalam kasus jembatan runtuh ... selain sang kontraktor bisa terjerat kasus hukum (yang bakalan juga butuh biaya dan tenaga) bisa-bisa dia juga harus mengganti dengan jembatan yang baru dan lebih baik. Niat untung malah bisa jadi buntung kan?
Kembali ke Aa Gym ... betapa dengan retorika yang sederhana, bagi saya Aa menyadarkan kita untuk kembali kepada basis ajaran agama dan kehidupan mengenai kejujuran, kasih sayang .. kesahajaan .. Banyak riwayat tentang orang jujur yang memberikan manfaat bagi orang banyak. Orang jujur itu merdeka, tidak perlu pusing bikin topeng untuk menutup kekurangan dirinya, lugas, apa adanya dan tidak perlu dibuat-buat ... setiap ucapannya menyejukkan hati, paras mukanyanya riang karena tidak mendendam, bersiasat atau menyimpan sesuatu ... tindakannya tulus, penghormatan kepada setiap orang dilandasi nilai universalitas sebagai manusia, bukan ingin mengharapkan pujian atau pemberian orang lain, bukan pula karena menjilat. Tapi ini yang sekarang jarang kita jumpai .. dan kebalikkannya malah menjadi sesuatu yang lumrah dan ditoleransi. Kejujuran menjadi sesuatu yang sangat mahal karena orang sudah tidak mampu lagi berbuat jujur. Bahkan sampai ada bebasan ... jujur iku ajur .. artinya jujur itu hancur, apalagi ini? Sepertinya dunia betul-betul sudah terbalik ... ketidak jujuran disanjung sementara kejujuran disiakan.
Mau jadi apa kita semua apabila nilai-nilai kejujuran sudah tidak melekat pada diri sanubari kita? Manakala bohong sudah menjadi gaya hidup ... kita hanya tinggal menuai konflik, kerugian dan kehancuran di kemudian hari. Dan suara seorang Aa Gym laksana menggarami lautan karena hanya sedikit orang yang mau berpaling dan percaya ... Namun bagi saya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya Aa Gym adalah pembawa pesan kehidupan yang tulus yang mengajak kita sebagai manusia terjaga dalam kesadaran kemanusiaan kita, dengan berpikir, berkata dan berbuat JUJUR kepada siapapun, termasuk kepada diri kita sendiri.
Sudahkah kita berani untuk JUJUR pada diri kita sendiri?
Mari kita memulainya ...
Wallahu'alam bishawab.

Wednesday, January 9, 2008

Ahmadiyah dan kebebasan (?)

Ribut-ribut tentang Ahmadiyah, Lia Eden dan sebagainya membuat saya sebagai orang awam tergelitik untuk mencari tahu lebih jauh. Benarkah mereka layak diberikan apresiasi atas nama kebebasan berpikir dalam beragama? Ini sangat memprihatinkan saya mengingat adanya otoritas baru atas nama pluralisme dan multikuturalisme yang justru setiap tindakannya tidak mencerminkan 2 kutub ini. Mereka cenderung untuk menyerang bahkan memaksakan kehendaknya kepada otoritas yang selama ini ada. Main gusur dengan 2 isu ini seolah-olah merekalah yang paling tahu benar ...

Jujur saja, saya sangat muak dengan perilaku mereka. Ngakunya orang berilmu tapi tidak tahu adat, tidak mau diajak tabayyun atau konfirmasi tentang sebuah fakta. Ilmu yang cuma sejengkal dipakai untuk mengobarkan kebencian kepada otoritas dan negara. Saya khawatir jangan-jangan mereka membabi-buta karena ada pesanan, kenapa sih kalo ada yang nggak setuju didialogkan saja. Datang baik-baik dan mencari kesepahaman ... bukannya agitasi lewat media, demo ... Kalau mereka bener-bener orang Islam tentunya tahu adab dalam berargumentasi ... tahu mana yang haq dan yang bathil, tawadu' ...

Sebagai orang awam, saya mencoba membaca tulisan ini yang saya ambil dari www.hidayatullah.com, tulisan Pak M. Syamsi Ali dengan judul Ahmadiyah da Religious Freedom. Membaca judulnya saja saya sempat terkekeh ... religious freedom ... apa sih ukurannya?

Menurut Pak Syamsi, Ahmadiyah tidak tepat memproklamirkan diri sebagai Islam karena fondasinya bukan lagi syahadah, khususnya penolakan atas Muhammad SAW sebagai utusan terakhir (khatamannabiyyin), melainkan masih ada yakni Mirza Gulam Ahmad (MGA).

Selain itu mereka meyakini bahwa kitab suci bukanlah Al Qur'an yang diturunkan melalui Muhammad SAW namun Tadzkirah yang merupakan cuplikan beberapa ayat Al Qur'an yang telah diputarbalikkan dan ditambah seruan dari MGA.

Ibadah haji selain ke Mekah belum afdhol jika belum mampir ke kota suci mereka yakni Rabwah dan Qadiyan. Kenyataannya seumur hidup MGA juga belum pernah berhaji ke baitullah.

Dari 3 asumsi ini jelas bahwa fundamental Ahmadiyah bukanlah Islam, malah ada satu fakta yang sangat menarik bahwa di jaman pemerintahan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto tahun 1974 Ahmadiyah dimasukkan ke dalam golongan non muslim. Bisa jadi Ahmadiyah memang sebuah keyakinan atau realitas religi sendiri namun jika tetap mengaku bagian dari Islam bagaimana mungkin? Dan fakta ini jelas akan sangat menyakiti dan mencederai hati umat Islam yang lain. Analoginya sebuah rumah yang harmonis memiliki beberapa anak, e... tapi ada 1 anak yang mengaku bahwa dia bukan keturunan bapak-ibu tapi entah keturunan siapa. Jelas pernyataan itu akan menyakiti hati bapak-ibu dan anak-anak yang lain. Kalau bukan anak bapak-ibu ya silakan keluar dari rumah ini ... daripada membuat suasana rumah tangga menjadi keruh, ya tho?

Bagi saya yang menjadi masalah kemudian adalah adanya tindakan kekerasan dari sekelompok muslim yang tidak terima dan jengkel melihat lambannya reaksi pemerintah. Jelas kekerasan adalah tindakan yang salah ... fisik maupun mental (dalam bentuk agitasi, provokasi dan merendahkan nilai-nilai lain ... bagian dari agresi atas manusia lain) itu jelas salah. Maka sekarang saatnya pemerintah untuk bertindak ... dalam rangka melindungi warga negaranya atau melindungi kepentingan asing yang sudah masuk ke dalam urusan dalam negeri kita.

Untuk melindungi warga negara ada beberapa alternatif yang bisa ditempuh ... silakan Ahmadiyah mendeklarasikan sebagai agama sendiri terlepas dari Islam karena jelas fundamennya bertentangan dengan Islam ... atau tetap bersikukuh berafiliasi dengan Islam tapi tetap akan menyimpan bahaya latent. Satu hal yang menyesakkan saya, bagaimana mungkin Ahmadiyah berafiliasi dengan Islam ketika sholat mereka tidak mau bergabung dengan jamaah sebagaimana layaknya muslim yang lain, mereka menganggap sholat mereka tidak sah jika diimami oleh muslim lain yang bukan segolongan. Apa ini Islam yang hanif?

Jika negara takut bertindak karena kepentingan asing (tekanan dari luar soal HAM dan tekanan dari antek-antek dalam soal kebebasan) ya sudah, masalah ini tidak akan selesai. Negara harus berani mengambil resiko di antara 2 pilihan sulit itu. Satu argumen mendasar bahwa mengaitkan Ahmadiyah dengan konteks kebebasan beragama bukanlah hal yang tepat karena duduk perkara soal aqidah yang masih memiliki kaitan dengan Islam dan dalam Islam sendiri telah jelas aturannya, tidak ada kelonggaran atas pelanggaran aturan karena Islam didirikan atas lima sendi pokok: Syahadah, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji jikalau mampu. Jika keluar dari sendi-sendi tersebut namun tetap mengaku Islam maka yang muncul sebenarnya adalah penistaan atas agama ... kebebasan yang menistakan dan mencederai keyakinan lain.

Semacam inikah yang dikehendaki oleh agen-agen liberal itu?
Jangan-jangan memang ini by-design untuk mengadu domba antara pemerintah dan Islam .. Siapa tahu dengan adanya konflik ini banyak pihak yang tertawa dan bersuka ria atas nama kebebasan yang dibangun dengan asumsi mereka tanpa mau berbagi definisi dengan pihak lain.

Sudah selayaknya kita selalu berhati-hati dan berpegang teguh kepada tali agama Allah SWT. Semoga bermanfaat dan Allah Ta'ala menunjukkan kebenaran bagi kita sekalian.


Wallahu'alam bishawab.

Monday, January 7, 2008

Terima kasih Jes.

Hari ini (jam 2 pagi WIB) saya terpaksa harus membangunkan istri saya melalui telepon karena ada urusan penting soal keberangkatan teman saya ke Amerika. Kami di Laramie kehilangan kontak dengan teman kami yang besok pagi akan berangkat ke Amerika via Jepang. Ada satu masalah bahwa di Jepang walaupun hanya transit tetap dibutuhkan dokumen visa transit. Lantas Patti Flores dari International Office dan Dr. Anderson berdiskusi bagaimana caranya teman saya tadi bisa selamat melewati Jepang (kalau tidak bakalan dipulangin ke Indonesia!). Untungnya no HP teman saya itu ada pada ponsel yang saya tinggal di Indonesia meski dengan resiko saya harus membangunkan istri saya di tengah mimpi indahnya jam 2 dinihari.

Tidak ada respon yang tidak diinginkan ketika istri saya mengucapkan kata pertama kali setelah menjawab salam. Justru sayalah yang dengan penuh kekhawatiran menyampaikan maaf ... menganggu istirahatnya ... padahal biasanya juga begitu hehehe ... Sampai saya mengakhiri pembicaraan tidak ada kata-kata tidak senonoh ... yang terdengar ... sungguh menyejukkan hati, di tengah kegundahan sebuah masalah penting yang menyangkut orang, institusi dan uang belasan juta .. istri saya menanggapinya dengan tenang. Alhamdulillah pesan terkomunikasikan dengan baik pada teman saya dan kami di sini dapat bernafas lega karena antisipasi atas masalah yang mungkin timbul di bandara Narita sudah teratasi.

Saya dan istri berangkat dari latar belakang yang sama sebagai aktivis di organisasi Gerakan Pramuka sejak kami kecil. Meski berbeda tempat namun kami menjalani tahapan sejak dari Siaga, Penggalang, Penegak sampai paripurna menjadi Pandega. Banyak pengetahuan dan ketrampilan yang kami dapatkan selama menjalani tahapan-tahapan tersebut dan memang seperti menempa mental, membentuk karakter dan kepribadian kami. Sudah tentu sebagai manusia kami masih memiliki banyak kekurangan namun dengan adanya bekal yang kami peroleh selama mengikuti kegiatan kepramukaan, hal ini bisa mengeliminir kami melakukan kesalahan bahkan mendorong kami untuk senantiasa berbuat lebih baik lagi.

Kami bertemu secara tidak sengaja pada tahun 1997 di sebuah kegiatan tingkat nasional. Tidak ada rasa apapun babar blas gordon sampai kami bertemu kembali tahun 1998 akhir saat kami harus bersama dalam sebuah organisasi pramuka tingkat Jawa Tengah. Saya berada di posisi ketua bidang dan dia sebagai anggota bidang. Apakah kedekatan ini kemudian menumbuhkan benih-benih kasih sayang di antara kami? Jawabnya jelas tidak, buktinya saya malah banyak digosipkan dengan wanita idaman lain hehehe … yah, dinamika usia muda. Sampai pada akhirnya di tahun 2002 akhir saat menjelang usai studi saya saya mulai merasakan ada hal yang berbeda, gimanaaaa gitu …

Dan setelah menempuh lika-liku yang cukup panjang di awal tahun 2003 bismillah kami mencoba untuk mengikat komitmen bersama .. sesaat sebelum dia berangkat ke United Kingdom (UK) untuk mengikuti program pertukaran pemuda yang disponsori oleh British Council. Jadilah long distance relationship .. saya harus berjuang menemukan pekerjaan yang proper di sini dan dia mengikuti kegiatan di Blackburn, Inggris.

Tahun berikutnya 2004 kembali dia mendapat tugas ke UK untuk keduakalinya, kali ini sebagai project supervisor … kebetulan house community ada di Luton dan Kudus, kebetulan juga mitranya adalah Gerakan Pramuka Kwartir Daerah 11 Jawa Tengah, tempat kami bersama mengelola organisasi.

Di akhir tahun kami mendapatkan kado indah dari Allah Ta’ala yakni kepastian saya mendapatkan pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil pada FISIP Universitas Diponegoro, almamater saya dulu .. sesuatu yang tidak pernah terbayangkan dan kami anggap sebagai anugerah. Memang sebelumnya saya sempat bekerja di sebuah organizer dan sempat bepergian ke berbagai penjuru Indonesia termasuk Jayawijaya/ Wamena yang kata banyak orang adalah jantungnya Papua dan tentunya dengan salary yang cukup tapi karena sifat pekerjaannya kontrak maka saya putuskan untuk tidak melanjutkannya.

Sempat juga lontang-lantung cari kerja sampai akhirnya ada teman yang menawarkan pekerjaan untuk mengelola tenaga security di sebuah cabang harian nasional di Semarang. Beberapa bulan sebelum ada berita gembira tersebut, secara rutin keluarga kami bertemu di bulan Syawal, biasanya hari kedua lebaran untuk bersilaturahmi dan mengenal serta membicarakan lebih lanjut hubungan kami berdua. Kebetulan kami berdua cukup terbuka dengan keluarga masing-masing termasuk soal jodoh yang kami pilih. Dan alhamdulillah keluarga kami bukan keluarga yang kolot dalam hal mementukan jodoh. Semua diserahkan pada yang bersangkutan karena merekalah yang nanti akan menempuh kehidupan bersama kelak dengan segala suka dukanya.

Pernikahan kami pada bulan Juli 2005 adalah akhir dari kedekatan kami secara informal sekaligus awal kami menempuh hidup baru. Benarlah kata orang jika orang menikah mendapatkan ucapan selamat menempuh hidup baru karena memang keesokan hari dan seterusnya kita selalu akan dihadapkan dengan hal-hal baru yang membutuhkan banyak kesabaran dan kejernihan berpikir dari kedua belah pihak. Kami sangat bersyukur bahwa kami dapat menikah dengan lancar .. tidak ada halangan apapun, bahkan sebelumnya ada teman yang merelakan rumahnya untuk kami tempati dengan sukarela, semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan mereka dengan berlipatganda. Meski demikian tantangan kami untuk bisa mewujudkan tempat tinggal yang layak tetap menjadi prioritas kami.

Selama usia muda pernikahan kami banyak mengalami konflik yang kecil, baik itu menyangkut hal sepele dalam rumah tangga, anak, keuangan atau juga soal mantan maupun wanita idaman lain di masa lalu (hehehe ..) Kadang sulit untuk bias berkata jujur atas masalah-masalah itu, membicarakan dengan kepala jernih (disinilah saya benar-benar membuktikan bahwa laki-laki emang lebih bertindak dengan akal sedangkan perempuan dengan perasaan), tapi kami berkomitmen bahwa sebelum kami berangkat tidur masalah harus sudah terselesaikan dengan baik bagi kedua belah pihak. Kita bersatu kan bukan untuk mempertajam perbedaan tapi untuk menemukan persamaan-persamaan yang membuat hidup kita lebih baik dan bermakna.

Kami juga belajar dari orang tua kami dan teman-teman kami yang telah lebih dulu menikah untuk bisa menghadapi hidup ini dengan ikhlas .. mencari makna dan kebaikan dari setiap momen dalam kehidupan, semua ini yang membuat kami istiqomah dan bersyukur dengan segala karunia Allah Ta’ala ini. Termasuk ketika sekarang kami harus terpisah .. istri di Indonesia dan saya menempuh tugas belajar di Amerika Serikat. Semua kami terima dengan ikhas karena keyakinan kami terhadap nilai-nilai agama yang kami anut serta nilai-nilai kehidupan yang kami temukan dan rumuskan dalam perjalanan meniti bahtera bersama ini.

Secara pribadi saya sangat beruntung memiliki istri seorang Yesika Maya Ocktarani … teman seorganisasi yang kemudian menjadi teman membina hidup. Kami sadar bahwa banyak kesamaaan-kesamaan sebagai bekal kami berumah tangga … termasuk kesediaan untuk mendengar dan belajar. Beberapa anggota keluarga kami memandang aneh hubungan kami berdua karena tidak selayaknya suami-istri yang dilingkupi oleh adat dan budaya tempat kami tinggal. Misalnya jika kami menginap di rumah keluarga besar kami masing-masing, maka orangtua atau anggota keluarga yang lain akan memberi isyarat atau menanyakan kepada istri saya untuk membuatkan minuman (teh, kopi) atau menyiapkan ini itu dan seterusnya … Yah pelan-pelan kami jelaskan bahwa bahwa terbiasa untuk mandiri, membuat semuanya sendiri atau atas permintaan satu sama lain. Jadi tugas itu tidak melulu istri saya tapi kadang juga saya yang membuat minuman buat istri saya. Intinya kami saling melayani dan mengisi … memperhatikan dan melayani satu sama lain. Tugas mengatur rumah tangga pun kami rumuskan bersama sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Prinsipnya kami tetap hidup sebagaimana suami-istri dalam lingkup budaya Jawa namun kami membuat sedikit modifikasi untuk memberikan ruang bagi peran lebih di antara kami masing-masing. Kami tidak gender minded karena kami sadar Tuhan menciptakan kami dengan kelebihan dan kekurangan yang harus dipadukan untuk saling melengkapi bukannya untuk dipertentangkan demi keuntungan satu atas lain.

Itulah hidup kami, saya bersama istri … dengan segala suka duka yang kami syukuri … termasuk dengan panggilan emergency dinihari atas sesuatu yang sangat penting dari negeri seberang. Istri saya tidak gusar, marah atau jengkel namun dengan riang dan senag hati membantu saya menyelesaikan sebuah masalah.

Satu pinta saya sebelum tidur setiap malam adalah semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi rumah tangga dan keluarga kami menjadi keluarga yang baik, syukur menjadi teladan bagi yang lain serta ungkapan syukur atas istri yang baik, pengertian, memahami dan mendukung dengan segenap hati.

Terima kasih ya Jes … xxxxxxx

Saturday, January 5, 2008

Goyahnya aqidah

Sebagai penganut Islam warisan alias diturunkan oleh orang tua, saya merasa bahwa keislaman saya masih sangat kurang ... bukan berarti malah berupaya untuk menolak atau menjauhinya namun sebaliknya justru mendorong saya untuk mencari lebih dan lebih dalam lagi.

Alhamdulillah, di Amerika saya malah banyak bergaul dengan rekan-rekan dari Islamic Center. Ada yang dari Sudan, Saudi Arabia, Turki, Uni Emirat Arab, Mauritania, Iran, Bangladesh, Pakistan, Mesir ... juga native alias muslim asli Amerika. Satu hal yang saya dapat dari mereka bahwa sebenarnya ada kewajiban kita sebagai muslim untuk mempelajari dan memahami bahasa Arab. Konvensi ini sangat memberikan manfaat kita sebagai muslim mengingat bahasa Al Qur'an juga bahasa Arab dan penguasaan bahasa ini akan memudahkan dan menguatkan ikatan sebagai sesama saudara muslim. Dari sini bisa berangkat banyak hal misalnya kita lebih dapat memahami Al Qur'an dan hadits dari bahasa aslinya, bagaimana struktur dan tata bahasanya sehingga lebih paham tidak sekedar tahu. Pemahaman ini menurut saya sangat berbeda ketika kita hanya membaca terjemahan saja yang mungkin sudah memiliki pergeseran makna sesuai dengan kepentingan si penafsir.

Bahasa Arab menjadi seperti universal language .. sama halnya dengan Bahasa Inggris hanya saja penggunaannya relatif lebih fokus kepada komunitas muslim. Sekali kita bertemu dengan saudara seiman dan menggunakan bahasa Arab secara baik maka Insya Allah ikatan dan kepercayaan sebagai saudara muslim semakin kuat. Di sini, selain bahasa Inggris, beberapa teman dari Afrika dan Timur Tengah selalu menggunakan bahasa Arab ketika mereka berkomunikasi. Tampak tidak ada perbedaan dan canggung satu sama lain ... dan hasilnya sayalah yang melongo. Yah, saya hanya mengenyam bahasa Arab saat di madrasah diniyah di Kliwonan, Wonosobo hampir 22 tahun yang lalu. Jelas sekarang sudah luntur di makan jaman karena sudah tidak pernah diasah ... sesuatu yang sekarang sedikit saya sesali hehehe ...

Jumat kemarin saat sholat Jumat di Islamic Center of Laramie (ICL) ada sesuatu yang mengembirakan ... ada seorang muallaf ... muslimah ... asli Amerika ... anak seorang pastor. Ya, Ahmed teman kami yang mendapat amanah menjadi president of ICL pernah bercerita kepada saya bahwa ada teman perempuan kuliahnya yang tertarik belajar tentang Islam ... bahkan ia mengundang Ahmed ke gereja tempat ayahnya melakukan pelayanan dan berdiskusi tentang Islam. Saya tidak tahu apa motivasinya mempelajari Islam untuk kemudian mengucapkan syahadah dan menjadi muslimah hanya saja sebuah kekaguman saya menginjakkan kaki di Amerika utara ini bahwa menurut data setiap tahun hampir 20.000 orang di Amerika beralih memeluk Islam setelah mereka mempelajarinya.

Sesuatu yang sangat berbeda terjadi di tanah air saya, Indonesia ... banyak generasi muda muslim yang mulai goyah aqidahnya, bukan lagi sekedar mempertanyakan kebenaran Islam namun lebih dari itu atas nama otoritas akal dan dukungan mereka yang pernah mengenyam pendidikan Barat, mereka berani untuk memberikan tafsir atas Al Qur'an dan Hadist menggunakan frame liberalisme, pluralisme, hermenuetika dan universalisme. Hasilnya jelas lebih banyak menimbulkan pertentangan dengan mereka yang teguh mendalami, mengkaji dan mempelajari Al Qur'an. Mereka ini dicap kuno, ortodox, tidak kontekstual ... kolot karena berpegang teguh pada nilai-nilai lama. Mereka dianggap tidak responsif atas kemajuan jaman.

Jujur saja, saya muak dengan mereka yang lebih suka mempertuhankan akalnya ketika kita berbicara masalah aqidah yang fundamental. Mereka bukannya orang-orang yang berpikiran murni tapi lebih banyak dipengaruhi oleh pandangan Barat yang kata mereka universal. Apa yang universal? Tidakkah kita sadar bahwa Barat tidak pernah rela dan ikhlas kita yang di Timur ini mengalami kejayaan? Sejarah kolonialisme bukankah berawal dari Barat? Dan sekarang, atas nama hak asasi manusia, persamaan dan universalitas mereka mencekokkan apa yang dinamakan perdagangan bebas, hak atas kekayaan intelektual, mode, tren dan intelektualisme. Lihatlah ... betapa semua itu tidak lebih dari bungkus kolonialisme modern .. kita dieksploitasi melalui media, perjanjian antarpemerintah (negara-negara timur selalu saja tidak berdaya), hegemoni pemikiran ... teknologi, hak cipta ... apalagi yang kita punya?

Sore tadi saya menonton film Life and Debt sebuah film dokumenter dari Jamaica buatan New Yorker Video tahun 2003 (www.lifeanddebt.com) yang bercerita bahwa sumber daya manusia di Jamaica tereksploitasi habis oleh IMF dan WTO. Sejak merdeka dari Inggris tahun 1962 ... IMF langsung datang untuk menganalisa bentuk bantuan bagi kemajuan dan perkembangan rakyat Jamaica. Bantuan pun digelontorkan sejumlah 50.000.000 USD tapi ... yah banyak syaratnya, mulai bunga, komoditi yang boleh dikembangkan, perbankan dalam negeri etc.etc.... Apa yang terjadi kemudian, bukannya kemakmuran malah keterpurukan ekonomi ... dan dengan mudahnya IMF mengkambinghitamkan pemerintahan yang korup dan tidak mampu memanage bantuan. Silakan temen-temen buka youtube "Krisis di Indonesia part 1-6" ... hal sama akan kita jumpai bahwa IMF dan Bank Dunia ngotot memperjuangkan kemajuan tapi mereka tidak mau ambil resiko atas kegagalan yang muncul dan dengan mudahnya menyalahkan pemerintah. Saya jadi tahu bahwa Pak Harto mengagendakan pembangunanisme karena dorongan dari IMF and the gank yang kiyer-kiyer melihat potensi Indonesia yang mengiurkan. Pasca take over dari Soekarno ... (ini masih merupakan misteri tapi fakta akan berbicara bahwa Soekarno dijatuhkan dan Soeharto dijadikan boneka ... sama-sama orang yang malang! semoga keadilan akan terbuka bagi kita), beberapa asisten Soeharto diundang ke Jenewa oleh IMF and the ganks ... apa yang terjadi di sana ... mereka didikte bahwa sektor ini itu harus dibangun ... ini partnernya ... perusahaan multi nasional ... ini prioritasnya. Dus, orde baru ternyata nggak beda dengan kerbau yang dicucuk hidung ... boneka dari kepentingan kapitalisme Barat! Dan kita semua mengalami di bawah Pak Harto kita mengalami perkembangan yang luar biasa tapi kita lupa bahwa semua itu didapat dari sponsor ... utang dari Barat yang harus dibayar sampai beberapa generasi. Terbukti ... semuanya hanya semu.

Dan kini, beberapa generasi muda Indonesia tergila-gila dengan mainan baru dari Barat ... bahkan rela mempertukarkan aqidahnya hanya untuk uang senilai 1,4 milyar yang dikucurkan via Asia Foundation untuk menciptakan Islam yang universal ... toleran dan terbuka. Aneh, upaya reformasi atau dekonstruksi Islam kok disponsori Barat ... bukan Arab. Tentu bagi mereka yang bisa berpikir pasti ada sesuatu ... nggak mungkin 1,4 milyar adalah makan siang gratis kan ? Dan sebenarnya kurang universal, toleran dan terbuka apalagi Islam itu?

Tengoklah ... satu-satunya agama yang survive bahkan terus berkembang adalah Islam .. beberapa kalangan di Barat mulai gusar dan resah bahkan mulai meletakkan Islam sebagai ancaman atas keberadaan dan kenyamanan mereka. Islam adalah universal karena semua orang bisa dan boleh memeluk Islam ... tidak ada diskriminasi, perbudakan bahkan perbedaan antara satu suku bangsa dengan yang lain ... jutaan orang setiap tahun berthawaf di Masjidil Haram ... kurang universal?

Sejarah juga telah membuktikan toleransi Islam (makanya BACA sejarah ya!), di Madinah ... satu-satunya peradaban yang mengakomodasikan beberapa golongan agama semit (Islam, Nasrani dan Yahudi) di bawah otoritas pemerintahan Islam. Piagam Madinah menjadi bukti toleransi Islam atas warga Madinah non-Islam ... tapi di kemudian hari muncul penghianatan dari salah satu golongan .. adakah sejarah Barat yang menulis ini dengan obyektif?

Banyak fakta-fakta tentang Islam yang dihanyutkan di Sungai Efrat maupun Tigris ... bahkan di kemudian hari banyak yang dipalsukan dan diakui produk dari Barat ... apakah bukan sebuah kemunafikan dan kebejatan akhlak? Dan sekarang banyak orang yang berbondong-bondong dan menunduk-nunduk pada mereka untuk mendapatkan pengakuan meski mengorbankan aqidah sendiri? Apakah mereka lupa akan sejarah? Lupa akan kejayaan Timur seperti Islam, China dan India yang begitu agung dan kaya akan moral terpuji?

Saya jadi ingat tentang fenomena jilbab di tahun 1980an, betapa untuk dapat menggunakan jilbab, seorang muslimah harus tahan dengan berbagai lontaran dan ejekan buruk fundamentalisme, sok Arab, sok suci, lupa budaya sendiri ... tapi atas perkenan Allah Ta'ala ... jutaan muslimah di Indonesia telah istiqomah dengan sunatullah tersebut.

Saya sangat yakin ... pikiran saya terbatas, kemampuan saya juga ... hanya wacana ini yang saya dapat kemukakan untuk senantiasa waspada dengan berbagai tipu daya tapi saya sangat yakin bahwa kuasa Allah SWT akan mengatur segalanya ... dan membuktikan bahwa Islam tidak seperti yang mereka tuduhkan.

Hanya kepada Allah Ta'ala kita berserah diri dan bertawakal ...

Wallahu'alam bishawab.

Friday, January 4, 2008

Kebenaran (sejati) dalam hidup

Mengapa kita hidup?
Siapa yang menghidupkan kita?
Mengapa kita harus hidup?

Masing-masing kita tentu memiliki jawaban yang berbeda-beda, tapi satu yang pasti apakah semua itu berkait dengan apa yang dinamakan kebetulan semata?
By accident?

Saat ini saya sedang berada pada lingkungan yang sangat ilmiah .. yang mana segala sesuatunya harus bisa dijawab secara ilmiah, pendapat pribadi pun (bahkan dalam diskusi informal pun) harus merujuk kepada suatu atau sebuah sumber, jika tidak ... ya percuma kita diskusi karena kamu tidak bisa memaparkan data-data pendukung untuk memperkuat argumenmu. Whalah!

Kita hidup dipengaruhi oleh segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Kita yang hidup di pedusunan .. persepsi kita terhadap suatu hal dipengaruhi oleh transformasi nilai-nilai pada lingkungan tempat kita tinggal, nilai-nilai itulah yang menjadi nilai bersama, yang dipatuhi dan diyakini oleh komunitas itu.
Sama juga dengan kita yang hidup di pesantren, seminari, sinagog, padepokan, universitas, akademi militer, polisi, whatever ... mereka akan selalu mencekokkan nilai-nilai mereka kepada kita, transformasi nilai, brainwashing, new paradigm ... sesuatu yang sebelumnya sangat asing bagi kita.

Sesekali kita akan terpesona dan terkagum ... ckckck .. mengangguk tanda setuju ... sesekali pula hati kecil kita memberontak dan bernafsu untuk menentangnya. Dan kita akan tersenyum atau tertawa penuh kepuasaan jika argumen dan pendapat kita menjadi pemenang. Saya punya teman yang cukup fasih berceloteh tentang filsafat, epistemologi .. dan dari pengamatan saya dalam setiap diskusi ia selalu berusaha mendominasi dengan argumennya ... jarang sekali iya menerima argumen orang lain .. setuju dan mengakhiri diskusi dengan senyum bagi setiap orang yang terlibat. Dengan berbagai referensi yang pernah dibaca dan dikuasainya ia selalu berusaha menceramahi peserta diskusi yang lain, jika ada yang tidak sependapat ia akan terus-mengeluarkan jurus-jurusnya, meski kadang-kadang ada beberapa fakta yang meleset. Suatu ketika di dalam kelas ia mencoba mempertanyakan dan berargumen dengan seorang profesor, panjang lebar ia berusaha mempertanyakan fakta yang diberikan oleh sang profesor. Tapi apa lacur, apa yang selama ini dikuasai dan diceramahkannya ternyata salah. Dengan cukup bijak sang profesor meluruskannya. Tidak terima dengan penjelasan profesor ia mengajukan argumen lain ... jadilah suasana kelas sebagai debat 2 orang dan yang lain hanya sebagai penonton doang. Saat pulang, secara becanda teman tadi mengatakan sesuatu kepada saya bahwa ia cukup puas ngerjain dan mendebat profesor tadi dengan argumennya.

Universitas, tempat saya menuntut ilmu malah saya pertanyakan manfaatnya. Apakah kita dididik untuk bisa berdebat, berargumentasi, mendapat nilai bagus, dikenal orang banyak, atau apa? Inilah kegundahan saya sejak dulu ... makin banyak universitas, makin banyak orang pinter tapi dunia ini bukannya malah lebih baik. Pertentangan, konflik, bahkan zero sum game bisa kita lihat dan jumpai di mana-mana. Apa ini? Manfaat apa yang kita dapatkan dari ilmu yang turun-temurun dicekokkan kepada umat manusia yang beruntung punya uang dan bisa sekolah di perguruan tinggi?

Satu hal yang menyesakkan adalah ... dalam kita membahas ilmu, kita nggak boleh bawa-bawa Tuhan ... itu abstrak dan tidak bisa dijelaskan. Mengapa ?
Apa salahnya? Saya tidak bisa berhenti berpikir ... mengapa? Apa salah Tuhan sehingga tidak boleh masuk ke ruang kuliah? Ke dalam diskusi?

Apakah mereka takut otoritas mereka tersaingi oleh wacana Tuhan? Ini yang membuat saya tidak habis pikir ... Apa gunanya mereka mengakui ... Ketuhanan Yang Maha Esa, The Al Mighty .. whatever ... di sisi lain mereka menancapkan pengaruh dan otoritasnya pada orang lain.

Saya jadi curiga ... merebaknya kebebasan berpikir yang membuat kita orang yang terpelajar .. intelek tapi makin jauh dari nilai ketuhanan adalah sebuah skenario untuk menancapkan otoritas baru sebagai dampak mereka yang selama ini terkalahkan oleh otoritas agama dan Tuhan. Terkalahkan dalam arti nafsu mereka terhalangi oleh berbagai bentuk dogma atau bisa juga mereka tidak punya pengikut ... orang-orang bloon yang mau dicekoki oleh kebenaran yang mereka temukan entah di mana. Mereka masuk ke universitas, akademi, diskusi, seminar dan berbagai forum strategis untuk menelorkan idenya ... membangun otoritas baru ... mendekonstruksi otoritas yang sudah mapan.

Bagi saya, apapun ideologi ... pemikiran .. filsafat ... tidak ada artinya jika tidak dapat menjawab 3 pertanyaan di atas. Bukannya ilmu itu untuk memperkaya hidup ... menemukan kesejatian hidup ... bukannya malah mempersulit hidup itu sendiri.

Aneh, banyak orang mengklaim kebenaran dalam hidup ... dengan ilmu, dalil, pemikiran, filsafat dan argumentasinya masing-masing. Tapi mengapa jika dipersatukan bukannya kita menemukan kebenaran yang lebih besar? Tapi malah perseteruan dan konflik?
Di mana kebenaran yang mereka gembar-gemborkan?
Di mana kebenaran sejati yang mencerahkan?
Yang mengangkat harkat dan martabat kehidupan itu sendiri ... bukannya aku bicara maka aku ada .. aku sekolah maka aku pandai dan kamu bodoh ... aku berpikir maka aku harus didengar ...

Di mana kita bisa hidup dengan kebenaran sejati?

Wallahu'alam.





Thursday, January 3, 2008

Titel atawa gelar

Ada kesepakatan tidak tertulis dengan istri saya bahwa kami tidak akan mencantumkan titel atau gelar akademis kami pada dokumen apapun, cukuplah nama lengkap pemberian orang tua kami masing-masing sebagai anugerah dan doa bagi kami. Yang sudah terlanjur seperti undangan pernikahan kami serta buku nikah yang kami miliki kami anggap sebagai sebuah kenangan atas kekhilafan kami.

Lho kok khilaf?
Sangat sulit untuk berdiri kokoh di dalam struktur masyarakat yang masih mengagungkan sesuatu bernama materi termasuk di dalamnya titel atau gelar akademis, walo sebenarnya ada juga yang lain seperti misalnya titel H atau Hj. dengan segala hormat . Apa sih fungsi titel? Menunjukkan prestise? Gengsi? Kompetensi? atau sekedar pencapaian hidup seseorang biar diakui atau dianggap hebat oleh masyarakat?

Kami berdiri pada masyarakat yang belum memahami di mana tempat dan fungsi titel itu diletakkan ... mereka yang bertitel umumnya diperlakukan dengan lebih .. lebih dimuliakan .. lebih dihormati .. lebih dipandang mampu dan cakap ... ada konsekuensi yang cukup miris bagi kami yaitu kelebihan dari sisi harta atau materi. Contohnya , dalam masyarakat lazim jika seseorang menyandang titel dokter, insinyur , master atau Ph.D, maka dipastikan orang itu "harus" sugih ... punya rumah yang megah ... mobil keluaran terakhir ... penampilan harus OK ... di kampung harus dermawan .. tanpa masyarakat tahu dari mana rizki yang mereka peroleh dan dengan jalan apa ...

Demikianlah tuntutan status pada masyarakat di mana kami hidup. Penghormatan dan penghargaan baru sebatas atribut material yang melekat .. walapun banyak peristiwa yang menjelaskan bahwa status tidak mesti sebanding dengan kekayaan .

Ada seorang kepala kelurahan di tempat kami tinggal yang sangat "dermawan", nyah nyoh alias gampang mengeluarkan uang untuk orang lain ... kerja bhakti ya nyumbang makanan, rokok ... rumahnya sangat mewah untuk ukuran kami yang tinggal di perumnas hehehe ... mobil keluaran tahun terakhir ... dan kemarin pas mantu alias punya gawe menikahkan anak perempuannya , acaranya sangat luar biasa ... 3 hari 3 malam nonstop tamu berdatangan ... Itulah momentum puncak Pak Lurah dengan statusnya ... karena seminggu kemudian dia harus berurusan dengan polisi karena terlibat berbagai kasus makelar (perantara tanah dan bangunan), penggelapan pajak, manipulasi dokumen, pungutan tidak resmi dan hutang dengan beberapa bank. Cukuplah sudah Pak lurah dengan statusnya yang terhormat itu ... dan sekarang istrinya kembali kepada keluarganya ... bersama anak-anak yang belum menikah ... rumah disita oleh bank ... karir sebagai sumber penghasilan yang akhirnya harus tamat. Sadarlah akhirnya masyarakat dengan gumaman .. Oooo jebule le sugih ki mergo korupsi karo ngapusi tho?

Ya iyyalah ... hehehe ... berapa sih gaji lurah sebagai PNS golongan III C/D, paling banter take home-nya ya 2 jutaaan ... gak tahu yang gak resminya hehehehe ... Tapi karena menyandang status yang terlalu berat ... jadilah Pak Lurah itu menempuh shortcut untuk mengimbangi statusnya di mata masyarakat.
Satu yang mengagetkan kami adalah beliau ternyata seorang sarjana hukum .... walah! Sarjana hukum kan kompetensinya ya ngerti masalah hukum ... tahu mana yang benar dan mana yang salah ... e lha kok malah jalan terus dengan hal yang salahnya.

Masih banyak contoh di dalam masyarakat di mana sebenarnya titel lebih identik dengan status dan gengsi daripada sebuah wujud kompetensi akademik.
Ada seorang teman yang bekerja pada sebuah PTS ... yang mahasiswanya mayoritas seumuran pak liknya. Apa tujuan kuliah ... ya nyari gelar, biar pangkat dan jabatan naik ... hasilnya ya yang penting nilai dan lulus, nggak peduli ilmunya nyantel nggak .. yang penting nilai baik dan lulus ... Celakanya motivasi ini banyak dibarengi dengan tindakan yang kurang terpuji ... datang ke rumah dosen dengan membawa punjungan ... memberikan ini dan itu ... yang nggak mungkin dilakukan kalo yang bersangkutan tidak menyandang status sebagai mahasiswa mata kuliah dosen itu ... Dengan cara-cara seperti ini diharapkan mereka dapat mengambil hati sang dosen dan pada akhirnya tugas dan soal ujian dipermudah .. bahkan kalo bisa dinegosiasikan dan akhirnya mendapatkan nilai yang baik ... lulus ... dapat gelar ..

Itulah makanya di benak saya masih saja tersisa sebuah pertanyaan ... setiap tahun negara kita ketambahan sarjana, master-magister, doktor-Ph.D bahkan para profesor ... tapi mengapa kondisi pendidikan, sosial-ekonomi, hukum ... singkatnya kehidupan kita bukannya bertambah baik dan benar tapi malah semakin tidak karuan? Dua orang profesor senior yang pernah saya ajak diskusi dan saya lontarkan pertanyaan ini tidak bisa menjawab ... mengalihkan kepada hal lain. Kalo begini .. apa gunanya sekolah, sekolah tinggi, universitas dengan berbagai atribut gelar yang dimilikinya jika tidak bisa memberikan kontribusi yang positif dan signifikan bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat?
Makin banyak orang pinter di bidang hukum (sarjana, notaris, master-magister, doktor dan profesor) tapi hukum kita makin tidak jelas ... yang salah bisa jadi benar dan yang benar sering disalahkan ... yang mau bayar dilancarkan ... yang lugu dan tidak punya dicelakakan ...

Di bidang yang saya tekuni yang berkaitan dengan politik, kondisinya lebih buruk lagi. Politik sebagai sebuah ilmu hanya dijadikan sebagai pembenar atau justifikasi atas tindakan, motif dan kepentingan kelompok tertentu saja. Tidak pernah dan tidak benar bahwa apa yang mereka lakukan berorientasi kepada rakyat. Rakyat hanyalah sebagai pembenar semata. Tengoklah pemilihan kepala daerah langsung yang seperti sedang menjadi tren di Indonesia ... betapa politik di tingkat lokal hanya sebagai mainan elite dan pemodal ... ada take and give saat kampanye dan saat menjabat selama 5 tahun kelak.

Demokrasi? Konsep lucu dari mana lagi ketika selembar kertas suara dapat mengawal kepentingan rakyat untuk 5 tahun ke depan ? Saya tidak percaya dengan demokrasi karena itu hanyalan gula-gula politik ... Amerika dan Eropa yang katanya kampium demokrasi juga tidak se-smooth yang saya bayangkan sebelum mengalaminya sendiri ... bahkan ketika saya berdiskusi dengan profesor senior di Political Science Dept., yang menggerakkan demokrasi bukan lagi kepentingan rakyat .. tapi lobby dan uang ... itulah jalan pintas kalau ingin berkuasa ... Demokrasi hanya sebagai justifikasi bagi aktifitas politik yang dinaungi oleh kesadaran kolektif akan sebuah sistem yang ideal dan memihak rakyat walau pada praktiknya sangat bertolak belakang .... Demokrasi hanyalah titel bagi elit politik yang ingin mengekalkan kekuasaannya dengan bermain wacana atas nama rakyat.

Di Indonesia buktinya sekian lama pemilihan kepala daerah langsung yang muncul malah namanya konflik, korupsi serta arogansi kekuasaan ... tidak ada kalo bisa dikatakan sangat sedikit demokrasi lokal yang sukses mensejahterakan rakyatnya ...
Ada juga cerita menarik dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang katanya sukses di bidang investasi ... saat saya main ke pabrik-pabrik (maksud mereka mau nunjukin .. ini lho realitasnya he ..) tapi yang saya tangkap sebenarnya realitas yang menyesakkan ... bagaimana tidak, ribuan buruh yang bekerja di pabrik yang katanya mendorong investasi ternyata hanya dibayar 400 ribu rupiah perbulan dengan 8 jam kerja seminggu selama 5 hari ... sangat jauh di bawah upah minimum regional ... secara ketakutan mereka para pekerja bercerita bahwa tidak ada alternatif lain bagi mereka selain menerima pekerjaan dengan upah tidak sepadan itu daripada menganggur dan tidak punya uang ... padahal setiap hari butuh uang untuk makan, anak sekolah .. belum yang lain seperti kesehatan. Jadi teman .. kalo ingin tahu keberhasilan investasi .. jangan tanyakan pada bupati atau kepala dinas .. tanyakan pada buruh yang berpeluh untuk berjuang menjalankan roda ekonomi riil ... berkorban untuk kepentingan pemilik modal yang mungkin sudah bersekongkol dengan penguasa lokal hehehehe...

Makanya saya nggak kaget ketika temen-temen dari department lain nanya , kamu kuliah di department apa? Dijawab Political Science ... sebagian mereka terbelalak dan kaget walo akhir-akhirnya menjawab kalem .. that's great! Great apane ?

Di Indonesia banyak ilmuwan politik yang kerjaannya sehari-hari hanya berdiskusi dan berdebat soal teori yang datangnya entah dari mana. Bukannya menciptakan solusi tapi malah mengklaim kebenaran satu sama lain. Bukannya mengkaji teori apa yang muncul dari dinamika masyarakat kita .. malah ngambil, ngadopsi dari mana entah untuk dijejalkan kepada masyarakat. Lihatlah di negeri anu ... negara itu ... filosof ini .. itu ... metodologi ini dan itu ... apa artinya kalo tidak bisa menciptakan perubahan dan perbaikan dalam masyarakat?

Celakanya lagi banyak di antara teman-teman kami dari seluruh Indonesia yang hanya jadi intelektual tukang yang bekerja atas pesanan pihak tertentu, survey pilkada, tim sukses, legitimasi kebijakan ... seolah dengan menggunakan para intelektual dari perguruan tinggi mereka bisa mendapatkan legitimasi dari
masyarakat.... O alaaaah !

Jadilah titel sekarang hanya untuk kepentingan praktis dan prestise .. buktinya, seseorang justru akan berdebat mati-matian mempertahankan pandangannya daripada bersepakat mencari jalan keluar yang lebih baik dan bijak. Itu tandanya sudah ada keberpihakan kepada sesuatu .. bukan kepada ilmu itu sendiri .
Dan yang lebih menyakitkan bagi saya ... bagaimana titel itu kemudian malah menjadi alat, daya tarik untuk mendatangkan uang, gengsi, status, jabatan dan kehormatan ... bukan untuk menciptakan sebuah kreasi yang bermanfaat bagi sesama manusia.

Semoga ijtihad saya dan istri mengenai titel membawa manfaat bagi kami dan juga teman-teman yang sempat mampir membaca unek-unek saya ini ... dan semoga Allah Ta'ala menunjukkan jalan yang lurus dan baik bagi kita, di dunia ini dan di akhirat kelak ..
Mohon maaf jika ada tulisan yang tidak berkenan ... saya hanya berusaha untuk jujur walau kadang pahit atau menyakitkan.

Wallahu'alam bishawab.

Buat istriku, Yesika Maya Ocktarani ...
yang sederhana, bersahaja dan nggak neko-neko he ...

Kata dan perbuatan

Banyak orang bilang ... seseorang sebagai pribadi dinilai dari banyak hal. Pertama dan utama adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah fisik, penampilan. Tapi banyak orang akhirnya tertipu jika hanya menilai dari sisi ini saja. Lantas banyaklah kriteria penilaian terhadap orang di luar fisik, intelegensi (IQ), perkataan, sikap, perbuatan, akhlak, keluarga, relasi dan lain sebagainya.

Satu yang menarik bagi saya dan sangat sederhana bahwa kita dapat menilai pribadi orang lain dari kata dan perbuatannya. Apakah ada kesesuaian di antara keduanya?

Banyak orang pintar berkata-kata, kutip sana kutip sini atas nama kitab suci, kebenaran ilmiah, konsensus ilmuwan, sejarah, rasionalitas, filsafat, ilmu pengetahuan, seolah dia dilahirkan untuk menjadi juru dakwah dari sesuatu yang diyakininya. Kadang dengan congkaknya memvonis orang lain tidak benar, tidak ilmiah, tidak rasional, tidak agamais, tidak bijak .... tidak seperti gue gitu loch! Saya bicara maka saya ada, inilah saya ....

Maka muncullah profesi dengan latar belakang pengecer mulut ini, mulai tukang obat, sales, artis, pendakwah, ilmuwan (termasuk di dalamnya guru dan dosen -dengan segala hormat-), broker, makelar sampai yang paling sederhana adalah timer/manol ... orang yang menawarkan jasa transportasi yang biasanya berada di halte atau titik strategis tempat orang menunggu kendaraan umum. Apakah profesi itu baik? Ya, jelas bahkan sangat mulia jika ia yang mengenakan profesi itu melakukannya dengan kesungguhan, dengan hati dan berniat bagi kebaikan. Lantas apa yang salah? Tidak ada yang salah ....

Ada juga orang yang pelit bicara, lebih suka melakukan sesuatu, menjalankan sebuah pekerjaan tanpa harus basa-basi, ba bi bu, omong sana-sini. Cekat-ceket bahasa Jawanya. Bahkan ada sebagian orang di sisi ini yang muak melihat berbagai basa-basi dan umbar kata-kata. Kakeyan c*c*t katanya. (Ups, sensor nih!).

Well, 2 kutub yang berbeda ini sangat menarik untuk dicermati, namun banyak juga orang yang lebih memilih satu di antara keduanya. Sayangnya kebanyakan lebih memilih untuk berkata dan berwacana daripada "bekerja", doing something worthy. Sehingga sebuah ungkapan Jawa .... sepi ing pamrih rame ing gawe...(diam-diam dalam mengharapkan imbal jasa, beramai-ramai dalam bekerja) menjadi tidak bermakna lagi bahkan mengalami penjungkirbalikan dari makna sesungguhnya. Orang lebih suka .... sepi ing gawe rame ing pamrih ... (diam-diam dalam bekerja, atau malah tidak bekerja dan ramai mengharapkan imbal jasa). Hasilnya sering kita lihat bahwa di sekitar kita lebih banyak orang debat, argumentasi tentang sesuatu hal ... namun kosong dalam realisasi, kaya konsep tapi miskin operasionalisasi.

Pemberantasan korupsi hanya berhenti di meja seminar, pemberdayaan masyarakat hanya jadi perbincangan hangat di kafe, bahkan hal yang sangat fundamental seperti masalah agama dan kepercayaan hanya berhenti di televisi dan diskusi. Sesuatu yang sangat tragis bahwa orang lebih suka berdebat dan berwacana yang ujung-ujungnya jika muncul perbedaan akan lebih memicu kepada permusuhan dan perseteruan ketimbang komitmen atau kesepakatan.

Dari sini terlihat, betapa orang lebih suka umbar janji dan mulut ketimbang melakukan sesuatu pekerjaan sebagai kelanjutannya. Banyak omong itu baik ... bisa jadi mencerahkan ... namun akan lebih baik omongan itu dibuktikan dengan karya nyata. Inilah state of mind saya ... dan inilah implementasinya. Perfect!

Jangan sampai kita menjadi orang yang terkungkung dengan hanya bisa bicara dan berujar ... namun tidak bisa menjalaninya.

Makna pribadi seseorang adalah paduan antara kata dan perbuatan, bagaimana keduanya saling melengkapi dan mencerahkan bagi sebuah kehidupan, bukan malah mencelakakan atau menistakan di antara keduanya atau bagi orang lain di sekitarnya.

Mari kita renungkan ... sudahkah sesuai kata dan perbuatan kita?

Sudahkah idealisme yang ada di benak kita mengenai nilai-nilai kebaikan dan kebenaran terefleksikan dalam kata dan perbuatan kita?


Alhamdulillah ..

Alhamdulillah,

akhirnya kesampaian juga bikin blog .. fuih ..

Tadinya sih nggak kepikiran babar blas gordon .. tapi setelah jauh dari rumah dan banyak waktu bisa dipakai buat nulis, rasanya kok eman-eman. Minimal buat legacy, pangiling-iling dan motivasi bahwa di dunia ini pernah hidup seorang Ghulam yang punya sesuatu untuk dibagikan kepada orang lain. Minimal pengalaman, pengetahuan atau syukur-syukur akses informasi yang bisa mengembangkan silaturahmi.

That's all ...