Wednesday, January 9, 2008

Ahmadiyah dan kebebasan (?)

Ribut-ribut tentang Ahmadiyah, Lia Eden dan sebagainya membuat saya sebagai orang awam tergelitik untuk mencari tahu lebih jauh. Benarkah mereka layak diberikan apresiasi atas nama kebebasan berpikir dalam beragama? Ini sangat memprihatinkan saya mengingat adanya otoritas baru atas nama pluralisme dan multikuturalisme yang justru setiap tindakannya tidak mencerminkan 2 kutub ini. Mereka cenderung untuk menyerang bahkan memaksakan kehendaknya kepada otoritas yang selama ini ada. Main gusur dengan 2 isu ini seolah-olah merekalah yang paling tahu benar ...

Jujur saja, saya sangat muak dengan perilaku mereka. Ngakunya orang berilmu tapi tidak tahu adat, tidak mau diajak tabayyun atau konfirmasi tentang sebuah fakta. Ilmu yang cuma sejengkal dipakai untuk mengobarkan kebencian kepada otoritas dan negara. Saya khawatir jangan-jangan mereka membabi-buta karena ada pesanan, kenapa sih kalo ada yang nggak setuju didialogkan saja. Datang baik-baik dan mencari kesepahaman ... bukannya agitasi lewat media, demo ... Kalau mereka bener-bener orang Islam tentunya tahu adab dalam berargumentasi ... tahu mana yang haq dan yang bathil, tawadu' ...

Sebagai orang awam, saya mencoba membaca tulisan ini yang saya ambil dari www.hidayatullah.com, tulisan Pak M. Syamsi Ali dengan judul Ahmadiyah da Religious Freedom. Membaca judulnya saja saya sempat terkekeh ... religious freedom ... apa sih ukurannya?

Menurut Pak Syamsi, Ahmadiyah tidak tepat memproklamirkan diri sebagai Islam karena fondasinya bukan lagi syahadah, khususnya penolakan atas Muhammad SAW sebagai utusan terakhir (khatamannabiyyin), melainkan masih ada yakni Mirza Gulam Ahmad (MGA).

Selain itu mereka meyakini bahwa kitab suci bukanlah Al Qur'an yang diturunkan melalui Muhammad SAW namun Tadzkirah yang merupakan cuplikan beberapa ayat Al Qur'an yang telah diputarbalikkan dan ditambah seruan dari MGA.

Ibadah haji selain ke Mekah belum afdhol jika belum mampir ke kota suci mereka yakni Rabwah dan Qadiyan. Kenyataannya seumur hidup MGA juga belum pernah berhaji ke baitullah.

Dari 3 asumsi ini jelas bahwa fundamental Ahmadiyah bukanlah Islam, malah ada satu fakta yang sangat menarik bahwa di jaman pemerintahan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto tahun 1974 Ahmadiyah dimasukkan ke dalam golongan non muslim. Bisa jadi Ahmadiyah memang sebuah keyakinan atau realitas religi sendiri namun jika tetap mengaku bagian dari Islam bagaimana mungkin? Dan fakta ini jelas akan sangat menyakiti dan mencederai hati umat Islam yang lain. Analoginya sebuah rumah yang harmonis memiliki beberapa anak, e... tapi ada 1 anak yang mengaku bahwa dia bukan keturunan bapak-ibu tapi entah keturunan siapa. Jelas pernyataan itu akan menyakiti hati bapak-ibu dan anak-anak yang lain. Kalau bukan anak bapak-ibu ya silakan keluar dari rumah ini ... daripada membuat suasana rumah tangga menjadi keruh, ya tho?

Bagi saya yang menjadi masalah kemudian adalah adanya tindakan kekerasan dari sekelompok muslim yang tidak terima dan jengkel melihat lambannya reaksi pemerintah. Jelas kekerasan adalah tindakan yang salah ... fisik maupun mental (dalam bentuk agitasi, provokasi dan merendahkan nilai-nilai lain ... bagian dari agresi atas manusia lain) itu jelas salah. Maka sekarang saatnya pemerintah untuk bertindak ... dalam rangka melindungi warga negaranya atau melindungi kepentingan asing yang sudah masuk ke dalam urusan dalam negeri kita.

Untuk melindungi warga negara ada beberapa alternatif yang bisa ditempuh ... silakan Ahmadiyah mendeklarasikan sebagai agama sendiri terlepas dari Islam karena jelas fundamennya bertentangan dengan Islam ... atau tetap bersikukuh berafiliasi dengan Islam tapi tetap akan menyimpan bahaya latent. Satu hal yang menyesakkan saya, bagaimana mungkin Ahmadiyah berafiliasi dengan Islam ketika sholat mereka tidak mau bergabung dengan jamaah sebagaimana layaknya muslim yang lain, mereka menganggap sholat mereka tidak sah jika diimami oleh muslim lain yang bukan segolongan. Apa ini Islam yang hanif?

Jika negara takut bertindak karena kepentingan asing (tekanan dari luar soal HAM dan tekanan dari antek-antek dalam soal kebebasan) ya sudah, masalah ini tidak akan selesai. Negara harus berani mengambil resiko di antara 2 pilihan sulit itu. Satu argumen mendasar bahwa mengaitkan Ahmadiyah dengan konteks kebebasan beragama bukanlah hal yang tepat karena duduk perkara soal aqidah yang masih memiliki kaitan dengan Islam dan dalam Islam sendiri telah jelas aturannya, tidak ada kelonggaran atas pelanggaran aturan karena Islam didirikan atas lima sendi pokok: Syahadah, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji jikalau mampu. Jika keluar dari sendi-sendi tersebut namun tetap mengaku Islam maka yang muncul sebenarnya adalah penistaan atas agama ... kebebasan yang menistakan dan mencederai keyakinan lain.

Semacam inikah yang dikehendaki oleh agen-agen liberal itu?
Jangan-jangan memang ini by-design untuk mengadu domba antara pemerintah dan Islam .. Siapa tahu dengan adanya konflik ini banyak pihak yang tertawa dan bersuka ria atas nama kebebasan yang dibangun dengan asumsi mereka tanpa mau berbagi definisi dengan pihak lain.

Sudah selayaknya kita selalu berhati-hati dan berpegang teguh kepada tali agama Allah SWT. Semoga bermanfaat dan Allah Ta'ala menunjukkan kebenaran bagi kita sekalian.


Wallahu'alam bishawab.

No comments: